Rabu, 24 September 2008

Kiai Wahab Berbagi Kebebasan


Dicuplik apa adanya dari:(A. Mun’im DZ- NU-online)- http://www.nu.or.id

Pada dasawarsa 1950-an politik nasional belumlah stabil, di sana sini masih terjadi pemberontakan daerah. Hubungan antara sipil dengan militer juga masih tegang. Dalam situasi begini demokrasi liberal diperlakukan dengan sistem multi partai dan kebebasan pers yang tanpa batas.

Dengan kondisi politik seperti itu ditambah pers yang bebas menyiarkan apa saja, baik yang bersifat politik maupun kebudayaan, membuat negara ini semakin labil. Karena siaran itu dibaca dan diikuti masyarakat, sehingga pertikaian elite menjadi pertakaian di masyarakat bawah. Lagi pula banyak strategi militer dan rahasia negara disiarkan untuk umum. Hal itu tentu bisa mengancam keselamatan negara dan bangsa.

Melihat kenyataan itu Jaksa Agung Suprapto pada 1953 tidak tahan melihat ulah pers, yang telah membahayakan keselamatan negara. Lantas mengeluarkan edaran agar pers tahu diri dalam menyiarkan informasi, agar melakuakan selfsensor apa yang pantas dan tidak pantas diberitakan.

Seruan itu mendapat tanggapan keras tidak hanya dari kalangan pers sendiri, tetapi juga mendapat kecaman keras dari pimpinan partai politik. PSI yang menganjurka kebebasan menilai edaran itu telah melanggar hak asasi manusia dan kebebasan berbicara. Masyumi menilainya sebagai warisan kolonial yang selalu berusaha memberangus kebebasan pers. Kedua partai itu kemudian mengajukan mosi tidak percaya pada pemerintah.

Menghadapi hal itu KH Wahab Chasbullah dari Partai NU mengatakan bahwa pengusul mosi itu tidak konsekuen, sebab yang memiliki kebebasan berpendapat bukan hanya pers saja, tetapi semua warga negara, termasuk Jaksa Agung, kalau pers tidak mau dikekang Jaksa Agung juga jangan dikekang. Pers jangan naif hanya minta kebebasan, tetapi tidak mau memberi kebebasan pada pihak lain, ini tidak realistis.

Akhirnya mosi yang diajukan PSI dan Masyumi itu kalah suara secara telak dengan perbandingan 76 lawan 41. Karena semua berpendapat bahwa kebebasan dari kemiskinan dan keterancaman dari musuh, dan kebutuhan terhadap keamanan negara, lebih penting ketimbang sekedar bebas untuk berbicara, yang hanya dimiliki sekelompok elite politik dan pengelola pers.


more

Persekutuan DI dengan NEFIS Belanda


Dicuplik apa adanya dari:(A. Mun’im DZ - NU-online)- http://www.nu.or.id

Orang melihat bahwa perjuangan DI-TII (Darul Islam – Tentara Islam Indonesia) pimpinan Kartosuwirjo itu memang murni didorong oleh semangat Islam. Tetapi dalam kenyataannya perjuangan itu penuh dengan kepentingan jangka pendek yang merugikan. Bagaimana pemberontakan bersenjata yang dianggap sebagai jihad atau perjuangan suci itu ternyata dilakukan dengan berbagai cara yang tidak Islami. Mulai dari perampokan harta rakyat, menjarah aset negara, hingga bersekongkol dengan kolonial Belanda.

Persekongkolan dengan Belanda ini memang benar-benar terjadi. Tetapi dalam buku Van Dijck maupun Denggel sama sekali tidak disebutkan adanaya persekongkolan berbahaya itu. Pada tahun 1954, Polisa dan Kejaksaan Agung RI membongkar adanaya kerjasama DI dengan tentara Belanda seperti Schemidt dan LN Jungschlanger, bekas aparat Nefis (Intel Angkatan Laut Belanda). Mereka tidak hanya memberi senjata, tetapi mengerahkan pasukan dan juga mencetak uang palsu sebanyak 50 ribu lembar untuk kepentingan DI di Jawa Barat.

Atas tindakan makarnya itu, mereka ditangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman berat oleh pemerintah Indonesia. Tetapi mereka mendapat pembelaan keras dari para advokat Belanda seperti Booman serta dukungan (support) dari para sarjana Amerika, seperti Henry P Devios (Universitas Colombia), Herry Gedeonse (Universitas Brooklyn), dan Harold Vourhoos (Universitas New York). Ini semata dilakukan karena anak Jungshlanger menjadi tentara Amerika.

Tidak hanya itu DI juga bersekongkol dengan Westerling yang lari ke Jawa Barat setelah membantai 40 ribu rakyat Sulawesi Selatan, sehingga sisa laskar penjajah itu kembali menemukan medan perjuangan. Bahkan Westerling mendapat tugas untuk membantai Presiden dan beberapa menteri.

Melihat kenyataan itu, NU, sedari awal, menengarai petualangan DI yang berhaluan Islam Wahabi itu sebagai bughat (pemberontakan) terhadap pemerintahan RI yang absah, karena itu harus dilawan. Ini bukan karena NU mengekor pada Soekarno, tetapi ini tindakan makar yang tidak bisa dibenarkan secara syar’iyah, walaupun atas nama penegakan Negara Islam. Apalagi, petualangan mereka itu sudah berani bermain api dengan melakukan kerjasama dengan tentara Belanda. Kerjasama ini berarti memberikan peluang kembalinya penjajahan Belanda di bumi pertiwi. Padahal dengan tegas NU telah mengeluarkan Resolusi Jihad, yang mewajibkan bagi seluruh umat Islam untuk mengusir penjajah di manapun berada


more

Selasa, 23 September 2008

Cerita. 3 Syari'ah Islam " Kebudayaan Lokal"


Selesai sholat lohor, aku berdo'a sejenak seperti kebiasaanku, dan pengen bersantai sejenak di teras pondok pak Musadad sambil mengumpulkan pertanyaan-pertanyan yag akan aku sampaikan nanti. Tapi, itu tidak jadi aku lakukan, karena bapak itu masih khusuk dalam duduk tafakurnya, kuputuskan untuk menunggu saja. Tiba-tiba, pak Musadad berbalik kearahku dan menyodorkan tangannya, mengajak bersalaman. Sejenak aku terdiam, tidak memberi respon, karena timbul pertanyaan dibenakku, bukankah sewaktu aku datang kami sudah bersalaman, sebagai tanda perjumpaan dan silaturahim. Apa maksud salaman sehabis sholat ini...?

"Allahuma sholli'ala muhammad....." ucap bapak itu, sambil menyorongkan tangannya. Serentak aku sambut sambil mengucap sholawat juga. Dan pertanyaanku tadi tetap tidak terjawab.

"Ayo, mari kita keteras.." Ajak pak Musadad,sambil hendak berdiri.

"Bagaimana kalau disini saja pak, biar seperti orang yang lagi belajar." Pintaku. Lalu bapak itu duduk kembali.

"Tapi saya bukan guru mas, belum pantas..."

"Tidak apa-apa pak" jawabku

"Kalau begitu kita lanjutkan,tapi mas juga harus belajar dengan yang lain lagi, hendaknya mas cari guru yang bisa dan mengajari mas dengan benar dan sistematis."

"Berdasarkan Ayat Alqur'an yang tadi, dapat dikatakan bahwa hukum syari'ah bersifat fleksibel. Dimana penerapannya disesuaikan dengan kondisi manusia pada saat itu, baik pribadi maupun secara komunal. Perlu diingat bahwa pribadi-pribadi manusia itu berbeda, dan hidup secara berkelompok membentuk suatu komunitas dan saling berinteraksi. Karena adanya interaksi tersebut maka muncul aturan-aturan yang disepakati bersama, baik tertulis maupun tidak. Hasil interaksi itu membentuk sebuah budaya yang mereka jalani."

"Sedangkan agama merupakan salah satu sumber kebudayaan, bahkan ada yang memahami nya sebagai produk kebudayaan. Untuk sementara, saya mengganggap agama adalah sumber kebudayaan, karena itu penerapan hukum syari'ah kedalam suatu budaya lokal justru akan memperkaya nilai-nilai budaya lokal itu sendiri, ambil contoh soal pakaian. Syari'ah dengan jelas memberikan batasan dalam hal aurat yang harus ditutupi.

"Tapi, apakah ia menuntut model tertentu seperti pakaian di zaman Rasul SAW. Saya rasa tidak, karena agama memandang model itu sebagai simbol/mabna yang merupakan bagian dari semangat kreativitas budaya/tradisi manusia, dan itu dapat berubah-ubah tergantung kondisi manusia, mungkin karena waktu, tempat, iklim, zaman, komunitas, makanan pokok, tingkat libido dan lain sebagainya. Sedangkan ketentuan menutup aurat tidak berubah." Pak Musadad menjelaskan.

"Tapi, Rasul SAW mengajarkan kita, terutama kaum wanitanya untuk memakai jilbab dan cadar?" Aku mencoba menyanggah contoh yang diberikan oleh bapak itu.

"Benar. Tapi harus diingat Islam diturunkan Allah SWT di lingkungan budaya Arab dan Rasul adalah orang Arab. Tapi apakah Islam itu identik dengan Arab, atau sebaliknya..? Tentu saja tidak. Islam diturunkan Allah RasulNya untuk seluruh umat manusia, bukan untuk satu bangsa atau kaum. Nah karena itu maka Islam dapat diterapkan pada karakter dan budaya masing-masing umat. Jelas fleksibel sekali kan...?"

"Ini ada satu Hadis yang diriwayatkan oleh imam Turmudzi yang berkaitan dengan penerapan hukum syari'ah, terjemahannya seperti ini,
" Kalian, para sahabat, hidup di suatu zaman (zaman Rasul SAW), bila kalian meninggalkan 10% dari ajaran agama maka kalian akan hancur diazab Allah. Namun kelak, akan datang suatu zaman, kendatipun mereka baru mampu menerapkan 10% saja dari ajaran agama ini, mereka akan selamat dari ancaman azab".
Bagi saya hadis ini dapat dipandang sebagai dorongan moral-spiritual bagi umat untuk berusaha semaksimal mungkin dalam penerapan hukum syari'ah sampai batas kemampuannya. Bukankah Allah juga menegaskan, bertakwalah engkau sesuai dengan kadar kemampuanmu, ittaqullah mastatha'tum. Semakin tinggi tingkat kesulitan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, semakin tinggi nilai penghargaan yang diperolehnya dari Allah."

"Oh...iya, hampir lupa. Saya ambil minum dulu ya mas." Kata bapak itu sambil pergi ke arah dapur.

Dan aku, masih duduk bersila sambil mengerutkan dahi. " Ternyata tidak sesimple itu penerapan syari'at islam pada suatu bangsa, apalagi bangsa Indonesia yang sangat beragam ini. Sukunya, letak geografisnya, karakternya, makanannya sampai budayanya. Jelas akan banyak perbedaan bentuk aturan hukumnya. Tapi yang paling penting adalah penerapan nilai-nilai ajaran islam di dalamnya, dan terutama sekali adalah nilai ketauhidannya ada pada setiap produk budaya itu" Batinku.

"Mas, saya punya satu pertanyaan." Kata pak Musadad, sambil menyodorkan secangkir kopi panas di depanku.

"Apakah Allah SWT akan bertanya kepada kita, apa yang telah kamu hasilkan, atau seberapa besar pahalamu?" Kusimak dalam-dalam pertanyaan ini.

"Tidak pak," Jawabku pelan.

"Betul itu mas. Karena yang akan ditanya itu adalah Apa upayamu atau apa usahamu, untuk mendapatkan pahalaKu." sambutnya jelas.

"Mengapa seperti itu? Karena upaya itu adalah hak yang dimiliki manusia, sedangkan hasilnya pada hakekatnya mutlak di tangan Allah SWT. Itu sebabnya kenapa Allah tidak akan bertanya pada hambaNya sesuatu yang ada di tanganNya."

"Pak, melanjut soal syari'ah dan budaya tadi. Karena manusia itu sangat beragam dan tentu budayanya berbeda-beda,jelas akan ada perbedaan aturan/hukum yang dibentuknya. Tapi yang paling penting menurut saya adalah penerapan nilai-nilai ajaran islam di dalamnya, dan terutama sekali adalah nilai ketauhidannya ada pada setiap produk budaya itu." Aku sampaikan pemahamanku.

"Benar mas, dan seharusnya seperti itu."

"Kalau begitu, dengan sendirinya akan terbentuk suatu perpaduan ajaran islam dengan budaya lokal, contohnya budaya Jawa islami, Bugis islami, Banjar islami dan Indonesia yang islami."

"Ya, Indonesia yang Islami. Jangan Indonesia yang Arabi, yaitu Arabisasi Indonesia atas nama Agama, seperti yang dilakukan beberapa kelompok/organisasi massa yang berlebel islam." Sambung pak Musadad sambil tersenyum.

"Untuk sementara obrolan kita sampai sini aja dulu mas, malam nanti atau besok kita lanjutkan lagi."

"Tapi, pak...."

"Sudahlah, mas nginap aja, nanti kita keliling Garut untuk lihat-lihat suasananya, Garut itu indah lho mas..." Bujuknya.

"Maaf pak, saya lupa memperkenalkan diri. Dan risih rasanya dipanggil dengan "Mas" terus. Nama saya Himawan, pak." Aku perkenalkan diriku.

"He he he,... saya pikir mas, eh, nak Himawan tidak ingin namanya saya ketahui." Canda pak Musadad ringan.

Akhirnya, sore itu kami keliling Garut, dan benar suasana kota itu indah dan udaranya sejuk, tapi tidak bisa menyejukkan perasaanku melihat kondisi negeri dan bangsa ini yang semakin terpuruk.


Yuvusulikov, Jakarta 2008
Referensi: Kyai Bendo - Garut

more

Senin, 22 September 2008

Cerita. 2: Syari'ah Islam "Berpijak Pada Kondisi"


Satu bulan sudah berlalu, sejak pertemuan yang tak terduga tersebut. Tayangan di televisi mengenai topik syariat Islam sudah mulai berkurang. Entah, mungkin menurut media topik tersebut tidak layak jual lagi, pastinya untuk sementara, dan yang lagi hangat-hangatnya soal kenaikan BBM.

Sambil otak-atik computer dan melayang-layang di dunia maya, entah kenapa aku jadi teringat bapak yang memberiku penjelasan mengenai syariat islam, mungkin karena aku ngeklik situs yang nuansanya syariat banget kali. Aku ambil secarik kertas yang berisikan alamat bapak itu.
“Pak Musadad, Jl. Tarogong No. 6 Garut.” Aku baca tulisan diatas kertas itu. Tiba-tiba saja aku berniat untuk berkunjung kesana besok.

Singkatnya, aku sudah dalam perjalanan ke Garut, menuju rumah bapak itu. Di mana-mana terlihat berbagai spanduk yang berisikan macam-macam tema di sepanjang jalan. Ada yang bertema Partai Politik, Himbauan Pemerintah, Iklan dan ada juga yang bertema Syariat Islam. Beberapa saat kemudian aku tiba di alamat pak Musadad, kemudian.

“Assalaamualaikum…..” ucapku
“Wa alaiikum salaam, sampai juga rupanya mas ini ke tempat saya” Jawab pak Musadad sambil menyalamiku dengan hangat, walau dia belum tahu namaku dan hanya sekali bertemu pada saat itu.

Saat itu rasanya ingin aku mencium tangannya, karena dalam hati aku sudah menganggap dia sebagai guruku. Mencium tangan seorang guru aku rasa layak dilakukan seorang murid, walaupun itu hanya tradisi, bahkan bukan tradisi bangsa ini, tradisi cium tangan ini konon katanya tradisi kaum Syiah. Tangan bapak itu akhirnya kucium juga sebagai penghormatan.

“Tidak perlu seperti ini mas….” Kata bapak itu ingin mencegah. Tapi tetap tangan itu kucium.

“Tidak apa-apa pak, walau ini bukan tradisi atau budaya bangsa kita, saya rasa hal ini bisa kita ikuti sebagai penghormatan anak, adik atau murid terhadap orang tua, kakak dan guru. Toh tidak ada bedanya dengan saling rangkul atau cipika-cipiki.

“Ha ha ha…..” Bapak itu tertawa sambil menepuk-nepuk pundakku.

Setelah sekian waktu ngobrol-ngobrol ringan dan saling Tanya kabar, serta menyeruput secangkir kopi panas dan makan singkong rebus, aku lanjutkan dengan bertanya soal Syariat Islam.

“Pak, saya ingin dengar penjelasan bapak soal syariat/hukum Islam lebih jauh, sebagai lanjutan diskusi, maksud saya pembelajaran kita waktu itu.” Sengaja aku tekan kata pembelajaran, untuk menegaskan pada bapak itu kalau aku ingin tahu lebih banyak.

“Oh iya, sampai dimana waktu itu.”

“Sampai pada umat yang tidak punya kapasitas dan kapabilitas keilmuan boleh juga berijtihad, tapi berijtihad dalam bermadzhab yang cocok untuk dirinya.”

“Ya, ya…., nah sebagai dampak dari kebebasan ber ijtihad itu terlihat jelas pada realita yang ada, sebagai contoh
Madzhab Syafi’i dianggap cocok dan mayoritas di daerah tropis seperti Malaysia, Brunei dan bangsa kita Indonesia.
Madzhab Hanafi dan Hambali
sangat cocok di daerah subtropis seperti Negara-negara di Asia Tengah yaitu India, Pakistan, Saudi Arabia dan Kuwait.
Madzhab Maliki di daerah sekitar kutub seperti Andalus, Maroko, Tunis dan Al jazair.
Madzhab Imamiah di Iran dan kaum Syi'ah.” Kemudian bapak itu melanjutkan

“Selain itu, umat juga diberi wewenang untuk berijtihad di dalam penerapan hukum syariah, dalam hal ini umat berijtihad dengan beragam cara, ada yang melalui formalisasi agama, jalur politik, dan ada juga yang melalui jalur kultur/budaya religi yaitu penerapan hukum syariat yang berpijak kepada kondisi umat.”

“Ada hal yang harus dipahami menurut saya, yaitu Hukum Syariah dalam batasan tertentu masih berstatus teoritis-idealis, karena finalnya tidak terletak pada tataran konsep, tapi pada kondisi penerapannya, oleh karena itu hukum syariah bersifat sangat kondisional, inilah yang menunjukkan bahwa syariat islam itu fleksibel atau tidak kaku.”

“Kira-kira seperti itu. Sebagai contoh saja, sesuatu yang menurut hukum syariah wajib apabila belum terpenuhi faktor penyebab, syarat dan ada faktor kendala, hukum wajib itu bisa berubah.”

“Contohnya apa pak, sesuatu yang diwajibkan dalam syariah bisa berubah status hukumnya?” Tanyaku ingin penjelasan yang lebih konkrit.

“Lho, misalnya ibadah Haji, menurut syariah itu wajib, bahkan merupakan rukun Islam, tapi karena faktor syarat dan kondisi seseorang seperti kesehatannya, ekonominya dan sarana yang tidak ada, apa dia tetap wajib melaksanakan ibadah haji, saya rasa hukumnya menjadi tidak wajib, dan masih ada lagi contoh lainnya” Jawab bapak itu.

“Nah, oleh karena itu penentu utama dalam pelaksanaan hukum syariah adalah kemampuan dan kondisi umat yang menjadi sasaran dari hukum syariah itu. Coba mas, pelajari Ilmu Usul Fiqih atau al ahkaam al wadl’iyah, yakni faktor sebab, syarat dan keberadaan kendala, dengan itu nanti mas, akan tahu penerapan hukum syariah yang seirama dengan kebijakan agama dapat diberlakukan melalui upaya peng-kondisian umat yang dalam bahasa sosiologinya sering disebut jalur kultur/budaya religi.”

“Begitu ya pak..." Kataku takjub

“Saya rasa seperti itu, dalam peng-kondisian tersebut Allah SWT selalu memerintahkan kepada umat untuk menghindari segala sesuatu yang sulit. Seperti yang terdapat di dalam Alqur’an Surat Thaha ayat 2, “Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah.” Kira-kira seperti itu terjemahannya.” Jawab pak Musadad.

“Nah , jadi penerapan hukum Syari'ah itu juga harus berpijak pada kondisi yang ada mas. Sudah adzan lohor, jika berkenan mari kita sholat bareng.” Bapak itu mengajakku ramah. Pada saat itu terdengar suara adzan, dan iramanya khas Sunda. Kami pun sholat berjama’ah…………………………………………………………………………………………………!!!




Yuvusulikov, Jakarta 2008
Referensi: Kyai Bendo - Garut

more

Minggu, 21 September 2008

Cerita. 1: Syari'ah Islam.."Madzhab dan Ijtihad"


"Tegakkan Syariat Islam di Indonesia" Pekik seseorang di kerumunan massa.

"Allahuakbar...." sambut yang lainnya serentak. Saat itu, di depan Istana Kepresidenan, berkumpul massa ribuan orang, mereka menyuarakan untuk menjalankan Syariat Islam di Indonesia, dan bahkan ada yang berteriak untuk mendirikan negara islam.

Massa demo tersebut berpakaian yang eksklusif, berjubah dan bersorban, laiknya pakaian orang Arab. Selain spanduk yang berisikan slogan-slogan Islam, seperti Jihad, Hukum Qisas dan beberapa tulisan Arab, mereka juga ada yang bawa tongkat bahkan pedang, persis seperti orang yang mau berperang. Peristiwa ini aku saksikan di terminal bis lewat sebuah saluran TV, bahkan hampir semua saluran TV di negeri ini.

"Wah..., serem juga ya mereka itu mas?" tiba-tiba seorang bapak disampingku bertanya.

"Maksud bapak...?" tanyaku

"Ya demonstran itu."

"Ya, tapi tujuan mereka jelas dan baik, bukankah Syariat Islam itu baik pak?"

"Baik, tapi syariat atau hukum Islam yang bagaimana?"

"Ya syariat atau hukum yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, seperti yang ada di Alquran." Jawabku.

"Ya, tapi menurut saya Allah menurunkan syariah tidak dalam bentuk hukum siap pakai, tapi memberikan kepada manusia lewat Nabi dan Rasulnya mashaadir syar'iyyah atau bahan hukum yaitu Alquran dan Hadist." Kata bapak itu, tidak ada kesan menggurui.

"Maksudnya bagaimana pak, maaf saya tidak begitu paham soal ini." Kataku meminta penjelasan yang lebih.

"Tapi maaf ya mas, saya bukan ustad, kyai atau ulama, saya hanya orang awam saja." Kata bapak itu.

"Ya, tidak jadi soal bagi saya pak, kalau penjelasan bapak itu lebih masuk akal, kenapa saya harus menolak hanya karena bapak bukan ustad, bukan kyai atau ulama. Dan saya membutuhkan penjelasan yang masuk akal dari pada sekedar dokrin." Jawabku dengan jelas.

"Ya, baiklah, kita sama-sama belajar ya. Mudah-mudahan bermanfaat." Kemudian bapak itu menjelaskan.

"Karena Alquran dan Hadis sebagai bahan hukum, maka Allah memberi ruang atau wewenang kepada umat untuk mengolahnya, siapa umat tersebut menurut saya yang paling utama adalah ulama sesuai kapasitas dan kapabilitasnya, mereka itu disebut dengan Mujtahid. Pemahaman mereka terhadap bahan hukum tersebut harus sudah teruji, yaitu melalui proses yang namanya Ijma', dan apabila mayoritas ulama menyatakan bahwa pemahan tersebut bersih dari unsur kesesatan maka pemahaman tersebut mendapat legitimasi agama dan menjadi acuan hukum. Nah jika ada ketidak transparanan dan penolakan terhadap proses uji tersebut ada kemungkinan pemahaman tersebut merupakan bagian dari kesesatan, wallahu 'alam.

"Ada juga yang namanya qiyas, yaitu proses ijtihad dilakukan melalui analogi terhadap hukum syariah yang telah ada, atau alasan hukum yang diambil berdasarkan perbandingan/persamaan dengan hal yang sudah ada dalam hukum Islam. Jadi menurut saya sumber hukum syariah itu ada 4 tahapan, yaitu Alquran, Hadis, Ijma' dan Qiyas."

"Oo.., begitu ya pak, ini pengetahuan baru bagi saya." Kataku sambil mengangguk-angguk.

"Kalau begitu pasti ada hikmah dibalik pemberian wewenang ijtihad yang Allah berikan kepada umat atau manusia?" Tanyaku lagi.

"Menurut saya ada beberapa hikmah, antara lain
1. Hukum syariah tidak akan melampaui batas kemampuan umat
2. Ada motivasi keilmuan untuk memahami sumber hukum yaitu Alquran dan Hadis.
3. Terdapat beberapa alternatif hukum dalam masalah yang sama.
kira-kira seperti ini menurut saya."

"Maksud dari ada beberapa alternatif hukum itu bagaimana pak?" Tanyaku meminta penjelasan lebih.

"Maksudnya, karena umat melalui ulama diberi wewenang dalam mengolah bahan/sumber hukum tadi, terkadang ada perbedaan pendapat di antara mereka untuk masalah yang sama. Sampai saat ini ada 4 madzhab yang diakui oleh banyak ulama yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali, disamping ada beberapa madzhab yang lain. Para ulama madzhab ini memiliki toleransi yang kuat terhadap perbedaan pendapat tersebut. Sep[erti perkataan mereka jika menemui 2 pendapat yang berbeda diantara mereka " Pendapat ini benar, pendapat yang itu lebih benar" atau " Pendapat itu kuat, pendapat yang satunya lemah" atau "Dalam masalah ini ada 2 pendapat".

"Lalu, bagi kita yang awam dalam soal keilmuan dan pemahaman hukum syariah, apa dibolehkan berijtihad?" Tanyaku meminta penjelasan.

"Ya sudah pasti diberi hak untuk berijtihad, tapi berijtihad dalam memilih madzhab apa yang cocok bagi kita tanpa ada paksaan dari siapapun."

"Wah, pak menarik sekali penjelasan yang bapak berikan. Terus terang saya sangat berterimakasih dengan penjelasan bapak, pengetahuan saya jadi tambah soal hukum syariat ini. Jika bapak berkenan, saya ingin banyak belajar mengenai ini dari bapak."

"Ini hanya pendapat saya saja mas. Lebih baik mas belajar dengan ustad atau kyai, mereka lebih pantas untuk itu, jangan dari saya." Jawab bapak itu.

"Paling tidak berdiskusi saja pak, bagaimana?" Tanyaku lagi

"Insyaallah mas."

"Kalau begitu, boleh saya minta alamat dan nomor telpon bapak?"

"Ini mas." Bapak itu menyerahkan secarik kertas.

"Terimakasih pak, insyaallah saya kerumah bapak." Kataku sambil menjabat tangannya.

"Allahuakbar...Terapkan Syariat Islam....." Teriakan massa terus terdengar di televisi, dan hampir seluruh stasiun TV masih menyiarkan demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok massa yang mengatas-namakan ormas islam tersebut, diselingi dengan dialog-dialog para pengamat, ulama dan politikus negeri ini.


Yuvusulikov, Jakarta 2008
Referensi: Kyai Bendo - Garut

more

Belajar Dalam Hidup 2

Aku dan Titah Mu


Dalam balutan lembut cahya bulan
Dalam belaian mesra angin malam
Dalam dekapan merdu suara ombak
Di pantai nyata dunia Mu

Dengan itu Kau tusuk-tusuk jantungku
Dengan itu Kau tarik-ulur lidahku
Dengan itu Kau ombang-ambingku
Di pantai rasa dunia Mu
Dengan itu….
Sedalam itu Kau sentuh kalbuku
Kau tegakkan tubuhku
Kau tundukkan kepalaku
Kau gerakkan jemariku

Dengan itu…..
Sedalam itu Kau perdengarkan suara Mu
Kedalam semua ruangku

Dengan itu…..
Dalam nama Mu
Dalam sifat Mu
Dalam laku Mu
Kau titah aku bersabar

Dan….
Apa aku mampu memaknai titah Mu…?



Yuvusulikov, Jakarta, 2008


more

Kamis, 18 September 2008

Sholawat


Salawat adalah do’a yang dipanjatkan untuk Rasulullah Muhammad saw dan keluarganya, agar kesejahteraan, kebahagian dan kemulian senantiasa Allah abadikan bagi mereka.
Mengapa kedudukan shalawat begitu penting?

Bukan hanya sekedar bukti kecintaan kita kepada Muhammad, tapi karena perintah Allah swt yang mewajibkan setiap ciptaannya untuk menyampaikan shalawat kepada UtusanNya tersebut, sehingga ucapan shalawat itupun diajarkan langsung oleh Allah dalam Alqur’an. Kenapa Allah memberikan hak yang paling mulia tersebut kepada Muhammad, ini karena kedudukan Beliau yang begitu mulia di sisi Allah dibanding makhluk ciptaanNya yang lain, sampai-sampai Allah menambah hak yang hanya diberikan khusus untuk Muhammad saw, yaitu Syafa’at.

Dengan Shalawat, kita berharap semoga Muhammad Rasulullah memberi kita syafa’at, yang mana syafa’at tersebut bukan sekedar rekomendasi saja, tapi juga do’a permohonan Muhammad Rasulullah kepada Allah, inilah megapa shalawat disebut sebagai Pintu segala do’a/permohonan. Jumhur Ulama mengatakan tidak sempurna dan tidak sampai do’a seseorang tanpa didahului dan diakhiri dengan shalawat.
Satu kesimpulan yang dapat dipahami antara lain adalah, do’a/permohonan kita dikabulkan Allah bukan karena do’a kita tersebut, tapi karena do’a dari Muhammad Rasulullah yang merekomendasikan do’a tersebut.

Inilah satu dari sekian banyak makna/hikmah Shalawat, yang tidak dapat saya sampaikan karena keterbatasan bahasa dan pengetahuan.

more

 

September 2008, Design template by Ayi Fahmi.