Rabu, 24 September 2008

Kiai Wahab Berbagi Kebebasan


Dicuplik apa adanya dari:(A. Mun’im DZ- NU-online)- http://www.nu.or.id

Pada dasawarsa 1950-an politik nasional belumlah stabil, di sana sini masih terjadi pemberontakan daerah. Hubungan antara sipil dengan militer juga masih tegang. Dalam situasi begini demokrasi liberal diperlakukan dengan sistem multi partai dan kebebasan pers yang tanpa batas.

Dengan kondisi politik seperti itu ditambah pers yang bebas menyiarkan apa saja, baik yang bersifat politik maupun kebudayaan, membuat negara ini semakin labil. Karena siaran itu dibaca dan diikuti masyarakat, sehingga pertikaian elite menjadi pertakaian di masyarakat bawah. Lagi pula banyak strategi militer dan rahasia negara disiarkan untuk umum. Hal itu tentu bisa mengancam keselamatan negara dan bangsa.

Melihat kenyataan itu Jaksa Agung Suprapto pada 1953 tidak tahan melihat ulah pers, yang telah membahayakan keselamatan negara. Lantas mengeluarkan edaran agar pers tahu diri dalam menyiarkan informasi, agar melakuakan selfsensor apa yang pantas dan tidak pantas diberitakan.

Seruan itu mendapat tanggapan keras tidak hanya dari kalangan pers sendiri, tetapi juga mendapat kecaman keras dari pimpinan partai politik. PSI yang menganjurka kebebasan menilai edaran itu telah melanggar hak asasi manusia dan kebebasan berbicara. Masyumi menilainya sebagai warisan kolonial yang selalu berusaha memberangus kebebasan pers. Kedua partai itu kemudian mengajukan mosi tidak percaya pada pemerintah.

Menghadapi hal itu KH Wahab Chasbullah dari Partai NU mengatakan bahwa pengusul mosi itu tidak konsekuen, sebab yang memiliki kebebasan berpendapat bukan hanya pers saja, tetapi semua warga negara, termasuk Jaksa Agung, kalau pers tidak mau dikekang Jaksa Agung juga jangan dikekang. Pers jangan naif hanya minta kebebasan, tetapi tidak mau memberi kebebasan pada pihak lain, ini tidak realistis.

Akhirnya mosi yang diajukan PSI dan Masyumi itu kalah suara secara telak dengan perbandingan 76 lawan 41. Karena semua berpendapat bahwa kebebasan dari kemiskinan dan keterancaman dari musuh, dan kebutuhan terhadap keamanan negara, lebih penting ketimbang sekedar bebas untuk berbicara, yang hanya dimiliki sekelompok elite politik dan pengelola pers.


more

Persekutuan DI dengan NEFIS Belanda


Dicuplik apa adanya dari:(A. Mun’im DZ - NU-online)- http://www.nu.or.id

Orang melihat bahwa perjuangan DI-TII (Darul Islam – Tentara Islam Indonesia) pimpinan Kartosuwirjo itu memang murni didorong oleh semangat Islam. Tetapi dalam kenyataannya perjuangan itu penuh dengan kepentingan jangka pendek yang merugikan. Bagaimana pemberontakan bersenjata yang dianggap sebagai jihad atau perjuangan suci itu ternyata dilakukan dengan berbagai cara yang tidak Islami. Mulai dari perampokan harta rakyat, menjarah aset negara, hingga bersekongkol dengan kolonial Belanda.

Persekongkolan dengan Belanda ini memang benar-benar terjadi. Tetapi dalam buku Van Dijck maupun Denggel sama sekali tidak disebutkan adanaya persekongkolan berbahaya itu. Pada tahun 1954, Polisa dan Kejaksaan Agung RI membongkar adanaya kerjasama DI dengan tentara Belanda seperti Schemidt dan LN Jungschlanger, bekas aparat Nefis (Intel Angkatan Laut Belanda). Mereka tidak hanya memberi senjata, tetapi mengerahkan pasukan dan juga mencetak uang palsu sebanyak 50 ribu lembar untuk kepentingan DI di Jawa Barat.

Atas tindakan makarnya itu, mereka ditangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman berat oleh pemerintah Indonesia. Tetapi mereka mendapat pembelaan keras dari para advokat Belanda seperti Booman serta dukungan (support) dari para sarjana Amerika, seperti Henry P Devios (Universitas Colombia), Herry Gedeonse (Universitas Brooklyn), dan Harold Vourhoos (Universitas New York). Ini semata dilakukan karena anak Jungshlanger menjadi tentara Amerika.

Tidak hanya itu DI juga bersekongkol dengan Westerling yang lari ke Jawa Barat setelah membantai 40 ribu rakyat Sulawesi Selatan, sehingga sisa laskar penjajah itu kembali menemukan medan perjuangan. Bahkan Westerling mendapat tugas untuk membantai Presiden dan beberapa menteri.

Melihat kenyataan itu, NU, sedari awal, menengarai petualangan DI yang berhaluan Islam Wahabi itu sebagai bughat (pemberontakan) terhadap pemerintahan RI yang absah, karena itu harus dilawan. Ini bukan karena NU mengekor pada Soekarno, tetapi ini tindakan makar yang tidak bisa dibenarkan secara syar’iyah, walaupun atas nama penegakan Negara Islam. Apalagi, petualangan mereka itu sudah berani bermain api dengan melakukan kerjasama dengan tentara Belanda. Kerjasama ini berarti memberikan peluang kembalinya penjajahan Belanda di bumi pertiwi. Padahal dengan tegas NU telah mengeluarkan Resolusi Jihad, yang mewajibkan bagi seluruh umat Islam untuk mengusir penjajah di manapun berada


more

Selasa, 23 September 2008

Cerita. 3 Syari'ah Islam " Kebudayaan Lokal"


Selesai sholat lohor, aku berdo'a sejenak seperti kebiasaanku, dan pengen bersantai sejenak di teras pondok pak Musadad sambil mengumpulkan pertanyaan-pertanyan yag akan aku sampaikan nanti. Tapi, itu tidak jadi aku lakukan, karena bapak itu masih khusuk dalam duduk tafakurnya, kuputuskan untuk menunggu saja. Tiba-tiba, pak Musadad berbalik kearahku dan menyodorkan tangannya, mengajak bersalaman. Sejenak aku terdiam, tidak memberi respon, karena timbul pertanyaan dibenakku, bukankah sewaktu aku datang kami sudah bersalaman, sebagai tanda perjumpaan dan silaturahim. Apa maksud salaman sehabis sholat ini...?

"Allahuma sholli'ala muhammad....." ucap bapak itu, sambil menyorongkan tangannya. Serentak aku sambut sambil mengucap sholawat juga. Dan pertanyaanku tadi tetap tidak terjawab.

"Ayo, mari kita keteras.." Ajak pak Musadad,sambil hendak berdiri.

"Bagaimana kalau disini saja pak, biar seperti orang yang lagi belajar." Pintaku. Lalu bapak itu duduk kembali.

"Tapi saya bukan guru mas, belum pantas..."

"Tidak apa-apa pak" jawabku

"Kalau begitu kita lanjutkan,tapi mas juga harus belajar dengan yang lain lagi, hendaknya mas cari guru yang bisa dan mengajari mas dengan benar dan sistematis."

"Berdasarkan Ayat Alqur'an yang tadi, dapat dikatakan bahwa hukum syari'ah bersifat fleksibel. Dimana penerapannya disesuaikan dengan kondisi manusia pada saat itu, baik pribadi maupun secara komunal. Perlu diingat bahwa pribadi-pribadi manusia itu berbeda, dan hidup secara berkelompok membentuk suatu komunitas dan saling berinteraksi. Karena adanya interaksi tersebut maka muncul aturan-aturan yang disepakati bersama, baik tertulis maupun tidak. Hasil interaksi itu membentuk sebuah budaya yang mereka jalani."

"Sedangkan agama merupakan salah satu sumber kebudayaan, bahkan ada yang memahami nya sebagai produk kebudayaan. Untuk sementara, saya mengganggap agama adalah sumber kebudayaan, karena itu penerapan hukum syari'ah kedalam suatu budaya lokal justru akan memperkaya nilai-nilai budaya lokal itu sendiri, ambil contoh soal pakaian. Syari'ah dengan jelas memberikan batasan dalam hal aurat yang harus ditutupi.

"Tapi, apakah ia menuntut model tertentu seperti pakaian di zaman Rasul SAW. Saya rasa tidak, karena agama memandang model itu sebagai simbol/mabna yang merupakan bagian dari semangat kreativitas budaya/tradisi manusia, dan itu dapat berubah-ubah tergantung kondisi manusia, mungkin karena waktu, tempat, iklim, zaman, komunitas, makanan pokok, tingkat libido dan lain sebagainya. Sedangkan ketentuan menutup aurat tidak berubah." Pak Musadad menjelaskan.

"Tapi, Rasul SAW mengajarkan kita, terutama kaum wanitanya untuk memakai jilbab dan cadar?" Aku mencoba menyanggah contoh yang diberikan oleh bapak itu.

"Benar. Tapi harus diingat Islam diturunkan Allah SWT di lingkungan budaya Arab dan Rasul adalah orang Arab. Tapi apakah Islam itu identik dengan Arab, atau sebaliknya..? Tentu saja tidak. Islam diturunkan Allah RasulNya untuk seluruh umat manusia, bukan untuk satu bangsa atau kaum. Nah karena itu maka Islam dapat diterapkan pada karakter dan budaya masing-masing umat. Jelas fleksibel sekali kan...?"

"Ini ada satu Hadis yang diriwayatkan oleh imam Turmudzi yang berkaitan dengan penerapan hukum syari'ah, terjemahannya seperti ini,
" Kalian, para sahabat, hidup di suatu zaman (zaman Rasul SAW), bila kalian meninggalkan 10% dari ajaran agama maka kalian akan hancur diazab Allah. Namun kelak, akan datang suatu zaman, kendatipun mereka baru mampu menerapkan 10% saja dari ajaran agama ini, mereka akan selamat dari ancaman azab".
Bagi saya hadis ini dapat dipandang sebagai dorongan moral-spiritual bagi umat untuk berusaha semaksimal mungkin dalam penerapan hukum syari'ah sampai batas kemampuannya. Bukankah Allah juga menegaskan, bertakwalah engkau sesuai dengan kadar kemampuanmu, ittaqullah mastatha'tum. Semakin tinggi tingkat kesulitan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, semakin tinggi nilai penghargaan yang diperolehnya dari Allah."

"Oh...iya, hampir lupa. Saya ambil minum dulu ya mas." Kata bapak itu sambil pergi ke arah dapur.

Dan aku, masih duduk bersila sambil mengerutkan dahi. " Ternyata tidak sesimple itu penerapan syari'at islam pada suatu bangsa, apalagi bangsa Indonesia yang sangat beragam ini. Sukunya, letak geografisnya, karakternya, makanannya sampai budayanya. Jelas akan banyak perbedaan bentuk aturan hukumnya. Tapi yang paling penting adalah penerapan nilai-nilai ajaran islam di dalamnya, dan terutama sekali adalah nilai ketauhidannya ada pada setiap produk budaya itu" Batinku.

"Mas, saya punya satu pertanyaan." Kata pak Musadad, sambil menyodorkan secangkir kopi panas di depanku.

"Apakah Allah SWT akan bertanya kepada kita, apa yang telah kamu hasilkan, atau seberapa besar pahalamu?" Kusimak dalam-dalam pertanyaan ini.

"Tidak pak," Jawabku pelan.

"Betul itu mas. Karena yang akan ditanya itu adalah Apa upayamu atau apa usahamu, untuk mendapatkan pahalaKu." sambutnya jelas.

"Mengapa seperti itu? Karena upaya itu adalah hak yang dimiliki manusia, sedangkan hasilnya pada hakekatnya mutlak di tangan Allah SWT. Itu sebabnya kenapa Allah tidak akan bertanya pada hambaNya sesuatu yang ada di tanganNya."

"Pak, melanjut soal syari'ah dan budaya tadi. Karena manusia itu sangat beragam dan tentu budayanya berbeda-beda,jelas akan ada perbedaan aturan/hukum yang dibentuknya. Tapi yang paling penting menurut saya adalah penerapan nilai-nilai ajaran islam di dalamnya, dan terutama sekali adalah nilai ketauhidannya ada pada setiap produk budaya itu." Aku sampaikan pemahamanku.

"Benar mas, dan seharusnya seperti itu."

"Kalau begitu, dengan sendirinya akan terbentuk suatu perpaduan ajaran islam dengan budaya lokal, contohnya budaya Jawa islami, Bugis islami, Banjar islami dan Indonesia yang islami."

"Ya, Indonesia yang Islami. Jangan Indonesia yang Arabi, yaitu Arabisasi Indonesia atas nama Agama, seperti yang dilakukan beberapa kelompok/organisasi massa yang berlebel islam." Sambung pak Musadad sambil tersenyum.

"Untuk sementara obrolan kita sampai sini aja dulu mas, malam nanti atau besok kita lanjutkan lagi."

"Tapi, pak...."

"Sudahlah, mas nginap aja, nanti kita keliling Garut untuk lihat-lihat suasananya, Garut itu indah lho mas..." Bujuknya.

"Maaf pak, saya lupa memperkenalkan diri. Dan risih rasanya dipanggil dengan "Mas" terus. Nama saya Himawan, pak." Aku perkenalkan diriku.

"He he he,... saya pikir mas, eh, nak Himawan tidak ingin namanya saya ketahui." Canda pak Musadad ringan.

Akhirnya, sore itu kami keliling Garut, dan benar suasana kota itu indah dan udaranya sejuk, tapi tidak bisa menyejukkan perasaanku melihat kondisi negeri dan bangsa ini yang semakin terpuruk.


Yuvusulikov, Jakarta 2008
Referensi: Kyai Bendo - Garut

more

Senin, 22 September 2008

Cerita. 2: Syari'ah Islam "Berpijak Pada Kondisi"


Satu bulan sudah berlalu, sejak pertemuan yang tak terduga tersebut. Tayangan di televisi mengenai topik syariat Islam sudah mulai berkurang. Entah, mungkin menurut media topik tersebut tidak layak jual lagi, pastinya untuk sementara, dan yang lagi hangat-hangatnya soal kenaikan BBM.

Sambil otak-atik computer dan melayang-layang di dunia maya, entah kenapa aku jadi teringat bapak yang memberiku penjelasan mengenai syariat islam, mungkin karena aku ngeklik situs yang nuansanya syariat banget kali. Aku ambil secarik kertas yang berisikan alamat bapak itu.
“Pak Musadad, Jl. Tarogong No. 6 Garut.” Aku baca tulisan diatas kertas itu. Tiba-tiba saja aku berniat untuk berkunjung kesana besok.

Singkatnya, aku sudah dalam perjalanan ke Garut, menuju rumah bapak itu. Di mana-mana terlihat berbagai spanduk yang berisikan macam-macam tema di sepanjang jalan. Ada yang bertema Partai Politik, Himbauan Pemerintah, Iklan dan ada juga yang bertema Syariat Islam. Beberapa saat kemudian aku tiba di alamat pak Musadad, kemudian.

“Assalaamualaikum…..” ucapku
“Wa alaiikum salaam, sampai juga rupanya mas ini ke tempat saya” Jawab pak Musadad sambil menyalamiku dengan hangat, walau dia belum tahu namaku dan hanya sekali bertemu pada saat itu.

Saat itu rasanya ingin aku mencium tangannya, karena dalam hati aku sudah menganggap dia sebagai guruku. Mencium tangan seorang guru aku rasa layak dilakukan seorang murid, walaupun itu hanya tradisi, bahkan bukan tradisi bangsa ini, tradisi cium tangan ini konon katanya tradisi kaum Syiah. Tangan bapak itu akhirnya kucium juga sebagai penghormatan.

“Tidak perlu seperti ini mas….” Kata bapak itu ingin mencegah. Tapi tetap tangan itu kucium.

“Tidak apa-apa pak, walau ini bukan tradisi atau budaya bangsa kita, saya rasa hal ini bisa kita ikuti sebagai penghormatan anak, adik atau murid terhadap orang tua, kakak dan guru. Toh tidak ada bedanya dengan saling rangkul atau cipika-cipiki.

“Ha ha ha…..” Bapak itu tertawa sambil menepuk-nepuk pundakku.

Setelah sekian waktu ngobrol-ngobrol ringan dan saling Tanya kabar, serta menyeruput secangkir kopi panas dan makan singkong rebus, aku lanjutkan dengan bertanya soal Syariat Islam.

“Pak, saya ingin dengar penjelasan bapak soal syariat/hukum Islam lebih jauh, sebagai lanjutan diskusi, maksud saya pembelajaran kita waktu itu.” Sengaja aku tekan kata pembelajaran, untuk menegaskan pada bapak itu kalau aku ingin tahu lebih banyak.

“Oh iya, sampai dimana waktu itu.”

“Sampai pada umat yang tidak punya kapasitas dan kapabilitas keilmuan boleh juga berijtihad, tapi berijtihad dalam bermadzhab yang cocok untuk dirinya.”

“Ya, ya…., nah sebagai dampak dari kebebasan ber ijtihad itu terlihat jelas pada realita yang ada, sebagai contoh
Madzhab Syafi’i dianggap cocok dan mayoritas di daerah tropis seperti Malaysia, Brunei dan bangsa kita Indonesia.
Madzhab Hanafi dan Hambali
sangat cocok di daerah subtropis seperti Negara-negara di Asia Tengah yaitu India, Pakistan, Saudi Arabia dan Kuwait.
Madzhab Maliki di daerah sekitar kutub seperti Andalus, Maroko, Tunis dan Al jazair.
Madzhab Imamiah di Iran dan kaum Syi'ah.” Kemudian bapak itu melanjutkan

“Selain itu, umat juga diberi wewenang untuk berijtihad di dalam penerapan hukum syariah, dalam hal ini umat berijtihad dengan beragam cara, ada yang melalui formalisasi agama, jalur politik, dan ada juga yang melalui jalur kultur/budaya religi yaitu penerapan hukum syariat yang berpijak kepada kondisi umat.”

“Ada hal yang harus dipahami menurut saya, yaitu Hukum Syariah dalam batasan tertentu masih berstatus teoritis-idealis, karena finalnya tidak terletak pada tataran konsep, tapi pada kondisi penerapannya, oleh karena itu hukum syariah bersifat sangat kondisional, inilah yang menunjukkan bahwa syariat islam itu fleksibel atau tidak kaku.”

“Kira-kira seperti itu. Sebagai contoh saja, sesuatu yang menurut hukum syariah wajib apabila belum terpenuhi faktor penyebab, syarat dan ada faktor kendala, hukum wajib itu bisa berubah.”

“Contohnya apa pak, sesuatu yang diwajibkan dalam syariah bisa berubah status hukumnya?” Tanyaku ingin penjelasan yang lebih konkrit.

“Lho, misalnya ibadah Haji, menurut syariah itu wajib, bahkan merupakan rukun Islam, tapi karena faktor syarat dan kondisi seseorang seperti kesehatannya, ekonominya dan sarana yang tidak ada, apa dia tetap wajib melaksanakan ibadah haji, saya rasa hukumnya menjadi tidak wajib, dan masih ada lagi contoh lainnya” Jawab bapak itu.

“Nah, oleh karena itu penentu utama dalam pelaksanaan hukum syariah adalah kemampuan dan kondisi umat yang menjadi sasaran dari hukum syariah itu. Coba mas, pelajari Ilmu Usul Fiqih atau al ahkaam al wadl’iyah, yakni faktor sebab, syarat dan keberadaan kendala, dengan itu nanti mas, akan tahu penerapan hukum syariah yang seirama dengan kebijakan agama dapat diberlakukan melalui upaya peng-kondisian umat yang dalam bahasa sosiologinya sering disebut jalur kultur/budaya religi.”

“Begitu ya pak..." Kataku takjub

“Saya rasa seperti itu, dalam peng-kondisian tersebut Allah SWT selalu memerintahkan kepada umat untuk menghindari segala sesuatu yang sulit. Seperti yang terdapat di dalam Alqur’an Surat Thaha ayat 2, “Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah.” Kira-kira seperti itu terjemahannya.” Jawab pak Musadad.

“Nah , jadi penerapan hukum Syari'ah itu juga harus berpijak pada kondisi yang ada mas. Sudah adzan lohor, jika berkenan mari kita sholat bareng.” Bapak itu mengajakku ramah. Pada saat itu terdengar suara adzan, dan iramanya khas Sunda. Kami pun sholat berjama’ah…………………………………………………………………………………………………!!!




Yuvusulikov, Jakarta 2008
Referensi: Kyai Bendo - Garut

more

Minggu, 21 September 2008

Cerita. 1: Syari'ah Islam.."Madzhab dan Ijtihad"


"Tegakkan Syariat Islam di Indonesia" Pekik seseorang di kerumunan massa.

"Allahuakbar...." sambut yang lainnya serentak. Saat itu, di depan Istana Kepresidenan, berkumpul massa ribuan orang, mereka menyuarakan untuk menjalankan Syariat Islam di Indonesia, dan bahkan ada yang berteriak untuk mendirikan negara islam.

Massa demo tersebut berpakaian yang eksklusif, berjubah dan bersorban, laiknya pakaian orang Arab. Selain spanduk yang berisikan slogan-slogan Islam, seperti Jihad, Hukum Qisas dan beberapa tulisan Arab, mereka juga ada yang bawa tongkat bahkan pedang, persis seperti orang yang mau berperang. Peristiwa ini aku saksikan di terminal bis lewat sebuah saluran TV, bahkan hampir semua saluran TV di negeri ini.

"Wah..., serem juga ya mereka itu mas?" tiba-tiba seorang bapak disampingku bertanya.

"Maksud bapak...?" tanyaku

"Ya demonstran itu."

"Ya, tapi tujuan mereka jelas dan baik, bukankah Syariat Islam itu baik pak?"

"Baik, tapi syariat atau hukum Islam yang bagaimana?"

"Ya syariat atau hukum yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, seperti yang ada di Alquran." Jawabku.

"Ya, tapi menurut saya Allah menurunkan syariah tidak dalam bentuk hukum siap pakai, tapi memberikan kepada manusia lewat Nabi dan Rasulnya mashaadir syar'iyyah atau bahan hukum yaitu Alquran dan Hadist." Kata bapak itu, tidak ada kesan menggurui.

"Maksudnya bagaimana pak, maaf saya tidak begitu paham soal ini." Kataku meminta penjelasan yang lebih.

"Tapi maaf ya mas, saya bukan ustad, kyai atau ulama, saya hanya orang awam saja." Kata bapak itu.

"Ya, tidak jadi soal bagi saya pak, kalau penjelasan bapak itu lebih masuk akal, kenapa saya harus menolak hanya karena bapak bukan ustad, bukan kyai atau ulama. Dan saya membutuhkan penjelasan yang masuk akal dari pada sekedar dokrin." Jawabku dengan jelas.

"Ya, baiklah, kita sama-sama belajar ya. Mudah-mudahan bermanfaat." Kemudian bapak itu menjelaskan.

"Karena Alquran dan Hadis sebagai bahan hukum, maka Allah memberi ruang atau wewenang kepada umat untuk mengolahnya, siapa umat tersebut menurut saya yang paling utama adalah ulama sesuai kapasitas dan kapabilitasnya, mereka itu disebut dengan Mujtahid. Pemahaman mereka terhadap bahan hukum tersebut harus sudah teruji, yaitu melalui proses yang namanya Ijma', dan apabila mayoritas ulama menyatakan bahwa pemahan tersebut bersih dari unsur kesesatan maka pemahaman tersebut mendapat legitimasi agama dan menjadi acuan hukum. Nah jika ada ketidak transparanan dan penolakan terhadap proses uji tersebut ada kemungkinan pemahaman tersebut merupakan bagian dari kesesatan, wallahu 'alam.

"Ada juga yang namanya qiyas, yaitu proses ijtihad dilakukan melalui analogi terhadap hukum syariah yang telah ada, atau alasan hukum yang diambil berdasarkan perbandingan/persamaan dengan hal yang sudah ada dalam hukum Islam. Jadi menurut saya sumber hukum syariah itu ada 4 tahapan, yaitu Alquran, Hadis, Ijma' dan Qiyas."

"Oo.., begitu ya pak, ini pengetahuan baru bagi saya." Kataku sambil mengangguk-angguk.

"Kalau begitu pasti ada hikmah dibalik pemberian wewenang ijtihad yang Allah berikan kepada umat atau manusia?" Tanyaku lagi.

"Menurut saya ada beberapa hikmah, antara lain
1. Hukum syariah tidak akan melampaui batas kemampuan umat
2. Ada motivasi keilmuan untuk memahami sumber hukum yaitu Alquran dan Hadis.
3. Terdapat beberapa alternatif hukum dalam masalah yang sama.
kira-kira seperti ini menurut saya."

"Maksud dari ada beberapa alternatif hukum itu bagaimana pak?" Tanyaku meminta penjelasan lebih.

"Maksudnya, karena umat melalui ulama diberi wewenang dalam mengolah bahan/sumber hukum tadi, terkadang ada perbedaan pendapat di antara mereka untuk masalah yang sama. Sampai saat ini ada 4 madzhab yang diakui oleh banyak ulama yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali, disamping ada beberapa madzhab yang lain. Para ulama madzhab ini memiliki toleransi yang kuat terhadap perbedaan pendapat tersebut. Sep[erti perkataan mereka jika menemui 2 pendapat yang berbeda diantara mereka " Pendapat ini benar, pendapat yang itu lebih benar" atau " Pendapat itu kuat, pendapat yang satunya lemah" atau "Dalam masalah ini ada 2 pendapat".

"Lalu, bagi kita yang awam dalam soal keilmuan dan pemahaman hukum syariah, apa dibolehkan berijtihad?" Tanyaku meminta penjelasan.

"Ya sudah pasti diberi hak untuk berijtihad, tapi berijtihad dalam memilih madzhab apa yang cocok bagi kita tanpa ada paksaan dari siapapun."

"Wah, pak menarik sekali penjelasan yang bapak berikan. Terus terang saya sangat berterimakasih dengan penjelasan bapak, pengetahuan saya jadi tambah soal hukum syariat ini. Jika bapak berkenan, saya ingin banyak belajar mengenai ini dari bapak."

"Ini hanya pendapat saya saja mas. Lebih baik mas belajar dengan ustad atau kyai, mereka lebih pantas untuk itu, jangan dari saya." Jawab bapak itu.

"Paling tidak berdiskusi saja pak, bagaimana?" Tanyaku lagi

"Insyaallah mas."

"Kalau begitu, boleh saya minta alamat dan nomor telpon bapak?"

"Ini mas." Bapak itu menyerahkan secarik kertas.

"Terimakasih pak, insyaallah saya kerumah bapak." Kataku sambil menjabat tangannya.

"Allahuakbar...Terapkan Syariat Islam....." Teriakan massa terus terdengar di televisi, dan hampir seluruh stasiun TV masih menyiarkan demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok massa yang mengatas-namakan ormas islam tersebut, diselingi dengan dialog-dialog para pengamat, ulama dan politikus negeri ini.


Yuvusulikov, Jakarta 2008
Referensi: Kyai Bendo - Garut

more

Belajar Dalam Hidup 2

Aku dan Titah Mu


Dalam balutan lembut cahya bulan
Dalam belaian mesra angin malam
Dalam dekapan merdu suara ombak
Di pantai nyata dunia Mu

Dengan itu Kau tusuk-tusuk jantungku
Dengan itu Kau tarik-ulur lidahku
Dengan itu Kau ombang-ambingku
Di pantai rasa dunia Mu
Dengan itu….
Sedalam itu Kau sentuh kalbuku
Kau tegakkan tubuhku
Kau tundukkan kepalaku
Kau gerakkan jemariku

Dengan itu…..
Sedalam itu Kau perdengarkan suara Mu
Kedalam semua ruangku

Dengan itu…..
Dalam nama Mu
Dalam sifat Mu
Dalam laku Mu
Kau titah aku bersabar

Dan….
Apa aku mampu memaknai titah Mu…?



Yuvusulikov, Jakarta, 2008


more

Kamis, 18 September 2008

Sholawat


Salawat adalah do’a yang dipanjatkan untuk Rasulullah Muhammad saw dan keluarganya, agar kesejahteraan, kebahagian dan kemulian senantiasa Allah abadikan bagi mereka.
Mengapa kedudukan shalawat begitu penting?

Bukan hanya sekedar bukti kecintaan kita kepada Muhammad, tapi karena perintah Allah swt yang mewajibkan setiap ciptaannya untuk menyampaikan shalawat kepada UtusanNya tersebut, sehingga ucapan shalawat itupun diajarkan langsung oleh Allah dalam Alqur’an. Kenapa Allah memberikan hak yang paling mulia tersebut kepada Muhammad, ini karena kedudukan Beliau yang begitu mulia di sisi Allah dibanding makhluk ciptaanNya yang lain, sampai-sampai Allah menambah hak yang hanya diberikan khusus untuk Muhammad saw, yaitu Syafa’at.

Dengan Shalawat, kita berharap semoga Muhammad Rasulullah memberi kita syafa’at, yang mana syafa’at tersebut bukan sekedar rekomendasi saja, tapi juga do’a permohonan Muhammad Rasulullah kepada Allah, inilah megapa shalawat disebut sebagai Pintu segala do’a/permohonan. Jumhur Ulama mengatakan tidak sempurna dan tidak sampai do’a seseorang tanpa didahului dan diakhiri dengan shalawat.
Satu kesimpulan yang dapat dipahami antara lain adalah, do’a/permohonan kita dikabulkan Allah bukan karena do’a kita tersebut, tapi karena do’a dari Muhammad Rasulullah yang merekomendasikan do’a tersebut.

Inilah satu dari sekian banyak makna/hikmah Shalawat, yang tidak dapat saya sampaikan karena keterbatasan bahasa dan pengetahuan.

more

Selasa, 16 September 2008

Taubat


Lagi-lagi, aku ketemu seorang kakek, tapi penampilan seperti anak muda yang perkasa dan necis, tapi yang menarik itu senyumannya, istimewa. Melihat dia tersenyum padaku, seakan-akan aku disiram dengan air sejuk di teriknya matahari. Tapi kali ini dia yang menegurku lebih dulu.

"Assalaamualaikum nak.." sapanya

"Wa alaiikum salam," jawabku pelan.

"Anak muda kok lemes gini, yang tegas dan penuh optimis." Lanjut kakek itu semangat

"Maaf kek, lagi suntuk nih." jawabku sekilas.

" Koq masih suntuk, seharusnya penuh semangat. Apalagi selesai sholat dan berdo'a, harusnya semangat karena kita sudah menghadap dan memohon pertolongan Nya."
Pada saat itu, kami ada di sebuah mushola dan baru saja selesai melaksanakan sholat dzuhur.

" Iya kek, terimakasih" masih pelan aku menjawab.

" Kalau boleh tahu ada apa kiranya, sampai kamu seperti ini, maaf kalau ikut campur."
Tiba-tiba saja aku ungkapkan apa yang jadi ganjalan di hati ku, nyerocos seperti mau tumpah saja.

" Tadi saya sudah melakukan maksiat untuk yang kesekian kali, padahal saya sudah bertaubat, tapi selalu saja saya ulangi lagi, dan lagi. Saya menyesal dengan perbuatan itu, tapi saya tidak bisa menghindar dari godaan-godaan setan. Dasar setan terkutuk." Suaraku keras, seakan berteriak.

" Oh..." Kakek itu mengangguk.

" Saya telah melakukan ....."

" Stop, jangan kamu teruskan. Biar saja hanya kamu dan Tuhan yang tahu apa yang telah kamu perbuat itu. Jangan kamu buka aibmu di depan makhluk, kalau memang terbuka biar Tuhan yang membukanya." Kakek itu memotong perkataanku.

" Tapi bagaimana kek, batin saya rasanya tertekan sekali." Kataku pelan, dan air mataku menetes.

" Sudahlah, yang penting kamu harus selalu bertaubat akan perbuatan maksiatmu, dan membuatmu tertekan karena merasa berdosa pada Tuhan." Kakek itu menasehatiku.

" Nak, Taubat itu adalah pengakuan bahwa diri itu banyak melakukan perbuatan yang tidak diridloi Allah, lalai dalam kewajibannya, gemar melakukan perbuatan yang dilarang. Namun, Taubat tidak hanya diucapkan, tapi disertai kesungguhan hati dan perbuatan serta berusaha untuk melakukan perbaikan. Taubat, ini penting bagi kita, sebagai ikrar penghambaan diri kepada Yang Maha Rahman. Hal ini menguatkan posisi insan sebagai makhluk Tuhan, yaitu yang diciptakan, yang tidak memiliki apa-apa, kecuali Kebijaksanaan Tuhan yang meminjamkan Sifat dan PerbuatanNya kepada makhluknya, dengan maksud untuk menyembah Nya. Jadi, pada dasarnya taubat adalah pengakuan penghambaan makhluk kepada Tuhannya." Perkataan kakek ini membuatku tertunduk, dan menyimaknya dengan serius. Kemudian dia lanjutkan pembicaraannya.

" Oleh karena itu, Allah sangat menyukai hambanya yang sering bertaubat, bukan karena sering berbuat dosa, melainkan karena pengakuan penghambaan itu. Sebagai contoh, Rasulullah Muhammad saw, bertaubat/istighfar minimal 70 kali dalam sehari, apakah karena berdosa.? Padahal kita tahu bahwa beliau sudah dijamin Allah dari perbuatan dosa, dan akhlak beliau sangat sempurna. Namun karena Pengakuan sebagai hamba itulah yang membuat beliau selalu bertaubat. Inilah yang membuat posisi Rasulullah Muhammad saw menjadi sangat mulia, selain karena kehendak dan janji Allah. Karena perbuatan ini pula, yang menjadi salah satu sebab beliau mendapatkan hak Syafa’at dan salawat dari Allah sehingga hak beliau tersebut menjadi kewajiban bagi setiap makhluk untuk bersalawat kepada beliau. Jadi begitu pentingnya posisi taubat bagi seorang hamba untuk menjadi dekat kepada Allah."

" Nah, mulai sekarang sering-seringlah bertaubat, bukan karena merasa berdosa saja, tapi karena harus. Insyaallah, pelan-pelan kamu dapat meninggalkan perbuatan maksiat itu untuk selamanya. Teruslah berusaha nak, Assalamualaiikum....." Kata kakek itu sambil berdiri dan pergi meninggalkanku sendiri. Dan kepergiannya itu diiringi dengan senyum istimewa dan sikap optimis.

Kulihat kakek itu berjalan dengan tegap, seperti seorang ksatria pemberani menyosong peperangan.

Yuvusulikov, Jakarta 2008




Foto modifikasi: KH. Hasyim Asy'ari (Pendiri NU )

more

Meditasi Pernafasan


Kadang kita merasa suntuk, dada rasanya terhimpit benda berat, atau apalah yang membuat kita merasa tertekan. Ada banyak cara untuk bebas dari rasa itu, yang paling tepat adalah selesaikan apa yang jadi penyebabnya. Tapi kadang, bahkan sering kita tidak mampu menyelesaikannya dan bahkan lari dari persoalan tersebut, atau bahkan tidak tahu apa yang jadi penyebab rasa tersebut. Secara sederhana sebenarnya semua itu berasal dari pikiran/akal kita, makanya sering orang sebut "mati akal", karena sel-sel syaraf di otak kita tidak bekerja dengan maksimal, padahal dia bisa mengeksplor secara tak terbatas alam ini. Satu cara yang bisa digunakan adalah Meditasi, meditasi ini banyak macamnya. Satu model yang aku kenal yaitu Meditasi Pernafasan.
Sebelumnya aku mau sampaikan sedikit apa itu nafas (konon menurut apa yang diajarkan Sunan Kalijaga, semoga benar). Dalam ajaran Islam Jawa ada 4 jenis nafas, yaitu:
1. Nafas, adalah Tali Tubuh yang dipahami sebagai titian tubuh, letaknya ada di dalam hati suweda ( hati yang menjembatani pikiran yang suci), wujudnya adalah udara yang keluar dari badan, udara ini mengandung CO2 dan keluar dengan sendirinya secara normal, karena CO2 keluar maka pikiran menjadi jernih.
2. Tanafas, adalah Tali Hati, yang mengikat hati sirri (rasa hati), adalah sumber dari perasaan hati yang jernih dan letaknya ada di daerah pusat (puser), wujudnya adalah udara segar yang mengandung O2 yang masuk kedalam tubuh.
3. Anfas, adalah Tali Ruh, yaitu tali yang mengikat Ruh dengan Jasmani yang letaknya ada di Jantung, wujudnya udara yang ada di dalam tubuh (udara yang ditahan/tertahan didalam tubuh).
4. Nufus, adalah Tali Rahsa/rasa, merupakan jembatan jantung yang menghubungkan rasa dengan atma, letaknya di dalam bagian jantung yang berwarna putih (beraura putih), wujudnya udara yang bergerak dari kiri ke kanan dan meliputi segenap tubuh jasmani dan rohani.

Kemudian, bagaimana cara meditasi pernafasan tersebut. Ada beberapa tahap yang dilakukan, yaitu:
1. Berwudlu/bersuci (Bersihkan diri dulu )
2. Duduk yang nyaman/relax (posisi apa saja terserah, yang penting nyaman, sebaiknya duduk bersila), pejamkan mata dan tutup mulut.
3. Hembuskan nafas secara perlahan dari hidung
4. Hirup udara perlahan-lahan, dan bayangkan daya bergerak dari pusat/puser menuju jantung (bagian dada kiri), terus ke hati, lalu kembali ke pusat/puser lalu naik lurus ke ubun-ubun.
5. Tahan sejenak. (kira-kira 3 - 5 ketukan)
6. Hembuskan nafas perlahan-lahan, dan bayangkan daya bergerak mengitari tubuh dari kiri ke kanan, yaitu dari ubun-ubun menjalar ke bagian tubuh sebelah kiri belok ke kanan pada posisi datar duduk sampai bagian kanan tubuh, terus naik ke ubun-ubun lalu turun ke pusat/puser.
7. Tahan sejenak.
Kemudian ulang dari tahap ke 3 dan seterusnya.
Lakukan ini sedikitnya 11 kali, sebaiknya sambil dzikir atau mengingat Tuhan.

Mudah-mudahan meditasi pernafasan ini dapat membatu kita mengatasi perasaan tertekan itu.
Sekian aja.....

Yuvusulikov, Jakarta 2008


more

Jumat, 12 September 2008

Bekerja Pada Tuhan


Siang ini aku di stasiun kereta Senen, menunggu kereta menuju Surabaya, hendak hati ingin mudik ke Banyuwangi untuk berlebaran dengan keluarga. Jadwal kereta berangkat sih entar sore, karena jumlah penumpang yang membludak, aku putuskan siang ini sudah di stasiun, kawatir gak dapat tempat, maklum kereta yang akan kutumpangi adalah kereta ekonomi.
Dalam penantian yang cukup panjang itu, aku ngobrol dengan seorang kakek bersahaja, kebetulan dia juga mau ke Surabaya terus melanjutkan perjalanannya ke Jember.
"Puasa kek.."tanyaku (seakan aku orang yang paling taat)
Kakek itu hanya tersenyum. Sebuah jawaban yang penuh makna, kemudian aku sadar aku telah membuka perkenalan dengan pertanyaan yang salah. Senyum kakek itu lebih bermakna ibadah yang sebenarnya.
"Maaf kek, sendirian..."
Lagi-lagi dia tersenyum, bahkan senyumnya lebih istimewa dari sebelumnya, lebih penuh makna. Aku semakin terperanjat dan salah tingkah. Dan kemudian aku hanya garuk-garuk kepala, bukan karena ketombe atau kutu, tapi rasa gatal itu seakan ada di dalam kepalaku.
"Kulo, mau ke Surabaya mas.., sampean..?"
"Sama kek, ke Surabaya juga. Surabayanya di mana kek..?"
"Di stasiun Turi" jawabnya
"Rumah kakek dekat stasiun?"
"Tidak, dari sana kulo melanjutkan ke Jember mas"
"O..., saya ke Banyuwangi kek"
Kemudian tidak ada dialog lagi.

Diam.
..................................................

Saat kereta tujuan Surabaya datang, baru ada kata yang terucap dariku.
"Mari kek, kita sama-sama masuk"
"Monggo..."
Dengan berdesak-desakan, aku masuk ke gerbong sesuai dengan tiketku, dan kebetulan kakek itu juga di gerbong yang sama. Harus dengan usaha yang keras untuk dapat tempat duduk. Dorong sana, dorong sini..., berhasil, kami dapat tempat duduk.
Setelah duduk, kakek itu berkata, seakan akan untuk semua orang.
"Seperti orang yang mau cium Hajar Aswad, untuk mendapatkan tempat duduk. Harus berjuang"
Tujuhbelas menit kemudian kereta mulai bergerak, dan tujuhbelas menit kemudian saat berbuka tiba.
Allahu Akbar.....Allahu Akbar.... Seketika itu aku minum dan makan kue yang kubawa, persis seperti orang yang sangat lapar. Aku tidak menghirauan pandangan kakek disebelahku, mungkin dia tersenyum melihat tingkahku, ah perduli amat dengan tatapan itu, aku sudah lapar dan bukankah adzan tadi pertanda saat untuk membatalkan puasa sejak pagi tadi.
"Bagaimana mas, nikmat berbukanya..." tanya kakek itu kemudian.
"He eh...."
"Pelan-pelan saja mas, pasti akan lebih nikmat. Apalagi disertai do'a dan rasa syukur, pasti lebih nikmat."
"He eh, iya kek, terimakasih" Jawabku, dan kakek itu tersenyum.

Diam lagi.
.........................................................

Tujuhbelas menit kemudian. Aku mulai mengajak ngbrol kakek itu.
"Kek.., tadi kakek sedang apa, bergerak-gerak penuh irama seperti itu padahal kereta tidak tersendat sendat."
"Hanya menjalankan apa yang jadi perintah saja mas."
"Perintah apa dan siapa yang yang memerintahkan kakek untuk bergerak seperti itu."
"Mas lupanya, ada waktu-waktu yang sudah ditetapkan untuk menjalankan apa yang sudah diperintahkan."
"........, Masyaallah. Maafkan saya telah bertanya dengan pertanyaan bodoh." Saat itu aku langsung bertayamum, karena tidak tersedia air di kereta. Aku sholat maghrib.

Diam lagi.
...........................................................

Tujuhbelas menit kemudian, (Waktu yang panjang untuk melakukan sholat maghrib dan berdo'a). Kami ngobrol kembali.
"Maaf kek, lama sekali saya sholat dan berdo'anya"
"Bagus mas, lebih lama dari itu malah lebih baik. Bukankah sholat dan berdo'a adalah saat kita berdialog bahkan bertatap wajah dengan Sang Khalik. Seharusnya mas bersyukur diberi waktu yang lama untuk berdialog dengan Nya. Sedangkan kulo hanya sebentar, karena ada perintah yang lain yang harus kulo laksanakan."
"Perintah apa itu kek.' tanyaku heran.
"Mengingatkan sampean..."
"Siapa yang memerfintahkan itu kek"
"Ya Gusti Allah mas.."
"Jadi.......?" Aku hanya terbengong-bengong.
"Bukan cuma kulo yang diperintah Gusti Allah, tapi semua makhluk itu diperintah oleh Nya mas." Kakek itu mulai menjelaskan.
"Terutama makhluk yang disebut manusia diperintah oleh Gusti Allah, bukankah sudah ada dalam kitab suci keterangan tersebut. Bahkan seharusnya manusia itu menyadari bahwa dia itu bekerja kepada Gusti Allah, sejak dia dilahirkan ke dunia ini, saat dia keluar dari rahim ibunya, dia sudah harus bekerja. Tangisan bayi itu adalah pekerjaan pertamanya, saat dia menangis, ibu atau orang yang membatu proses kelahirannya itu langsung merawatnya, nah rawatan yang dia dapat itu adalah ganjaran atau dalam bahasa manusia disebut honor atas pekerjaannya. Kalau dia tidak melaksanakan perintah itu apa yang dia dapat, pasti tepukan atau bahkan cubitan. Kemudian perintah-perintah dan ganjaran-ganjaran terus diberikan sampai dia akil balik. Saat itu dia diberi perintah yang bersifat wajib dan sunah, dan bahkan dipilah-pilah lagi menjadi mubah, makruh dan sebagainya kalau ada lagi. Dalam kitab suci yang dirisalahkan para Rasul dan Nabi sudah jelas, jika kamu ingin selamat dunia dan akhirat bekerja pada Gusti Allah dengan ikhlas, yaitu laksanakan perintahNya - jauhi laranganNya."
"Apa perintah dan larangan Nya itu, kulo rasa sampean sudah paham, mungkin lebih paham daripada kulo mas." Tutup kakek itu dan dia tersenyum. Senyum yang persis sama dengan senyuman dia saat aku tanya, "Puasa kek....? Maaf kek sendirian...?"

Diam.
...........................................................
Tak ada lagi obrolan. Aku lihat kakek itu sudah tertidur. Dan aku tenggelam dalam penyesalanku. Ternyata pengetahuanku bagaikan setitik embun di samudra raya. Aku sombong dengan ibadahku. Astaghfirullah........Laa ilaha illa anta..............


Yuvusulikov, Jakarta 2008

more

Kamis, 11 September 2008

Antara NKRI dan Federalisme


Oleh Abdurrahman Wahid
(Maaf saya ambil tanpa ijin, ini Asli tulisan Gus Dur silahkan masuk ke http://gusdur.net)


Istilah NKRI dipakai oleh para pendiri negara ini untuk menunjukkan bahwa ia adalah sebuah negara dengan kepemimpinan tunggal dan arah perjalanan hidup yang sama bagi warga bangsa ini.

Namun kini istilah yang berarti Negara Kesatuan Republik Indonesia, sering dijadikan lawan bagi sebuah istilah lain, yaitu keberbagaian (pluralitas) dan toleransi. Padahal itu semua perlu ada, untuk menjawab tantangan yang mengganggap kita tidak mungkin membuat sebuah negara dan bangsa yang bersatu.

Beberapa bidang telah memiliki format persatuan yang jelas sehingga tidak memerlukan penegasan. Contohnya adalah bahasa nasional kita yang dikembangkan dari bahasa Riau, antara lain oleh Raja Haji Ali,yang dimakamkan di Pulau Penyengat.

Dari bahasa Riau itu, kemudian muncul dua buah bahasa pada tingkat nasional, yaitu bahasa nasional kita -dikenal dengan nama bahasa Indonesia. Juga bahasa nasional Malaysia -disebut juga bahasa Malaysia. Untuk mendukung keberadaan bahasa Indonesia itu, dibuatlah istilah NKRI. Tentu saja, hal-hal seperti itu tidak pernah dijelaskan dengan gamblang.

Kesatuan dan ‘federalisme’ ternyata berkembang dengan baik dalam pengelolaan negara. Lalu timbul keinginan untuk menekankan kesatuan sehingga dengan sendirinya istilah NKRI semakin banyak muncul dalam pembicaraan di kalangan bangsa kita.

Sebab lainnya adalah banyaknya tuntutan otonomi yang akan semakin memupus kekuatan pusat (dan tentu saja semakin kuatnya kekuatan pemerintah daerah dan penambahan kekuasaannya).

Ada pihak yang merasa bahwa kedua hal itu tidak perlu dikemukakan lagi, minimal dalam rumusan resmi berbagai instrumen dasar negara kita. Dengan sendirinya, hal itu akan diliput oleh berbagai undang-undang organik. Dengan demikian, instrumen-instrumen dasar tersebut tidak perlu kita ubah dan tidak perlu adanya amandemen.

Namun sekarang pola dialog tentang UUD menjadi “kemasukan angin” dan kita lalu berdialog dengan menggunakan istilah yang berbeda- beda. Sebenarnya, kerancuan dialog inilah yang harus kita mengerti, bukannya “salah sambung” yang terjadi antara kita sendiri.

Memang, mencari pengertian yang sama tentang sesuatu hal, apalagi yang terkait dengan instrumen dasar sebuah negara, bukanlah pekerjaan mudah. Ia memerlukan juga kejujuran mutlak di samping kemampuan (expertise).

Karena itu, dialog di antara berbagai pihak tentang instrumen dasar negara seperti digambarkan di atas memerlukan kesabaran dan jangka waktu yang panjang. Oleh sebab itu, cara “menyelesaikan” masalah undang-undang dasar kita memerlukan ketabahan yang boleh di kata luar biasa. Karena itu, panjangnya waktu dan penunjukan siapa yang membicarakan undang-undang dasar itu, menjadi sangat penting bagi negara kita. Penilaian akhir tentang perlu atau tidaknya UUD kita di amandemen, bukanlah perkara kecil.

Dalam sebuah halaqoh tentang konstitusi dan temu wicara hukum acara yang diselenggarakan DPP PKB dan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini, penulis menyatakan bahwa penulis adalah korban dari sebuah komplotan jahat yang akhirnya memaksa untuk mengundurkan diri dari jabatan Presiden RI pada 21 Juli 2001.

Mengapa penulis menamakan proses itu sebagai komplotan? Berarti ada sesuatu yang melanggar hukum dan menentang konstitusi? Jawabnya karena hal itu memang demikian, Dimulai dari Pansus Bulog dan Brunei Gate, yang dipimpin Bachtiar Chamsyah. Hal itu saja sudah dapat menunjukkan adanya proses idealisasi nilai-nilai yang dianggap “Islami” sebagai capaian yang harus diperoleh organisasi-organisasi Islam. Bukankah itu pelanggaran konstitusi? Bachtiar Chamsyah sendiri melakukan pelanggaran undang-undang dengan membiarkan pintu sidang-sidang pansus terbuka sekitar sepuluh centimeter. Maksudnya, agar para wartawan dapat merekam pembicaraan yang terjadi dalam ruangan.

Padahal, sebuah undang-undang secara spesifik melarang sidang-sidang pansus dilakukan secara terbuka. Memang, karena dari semula sejumlah parpol dan perwira tinggi TNI sudah memutuskan untuk menyingkirkan penulis dari jabatan Presiden RI. Karena itu, segala macam pelanggaran dibiarkan saja. Bahkan, alasan formal yang tadinya berupa ‘pelanggaran legalitas’ oleh penulis, akhirnya tidak dapat dibuktikan. Akibatnya, diambil keputusan politik untuk menyingkirkan penulis dari jabatan kepresidenan.

Langkah itu diambil dengan berbagai macam pelanggaran, seperti tidak adanya pembicaraan hal itu di DPR RI dan pelanggaran di Mahkamah Agung, ketika keputusannya diberitahukan kepada MPR RI oleh ketua Mahkamah Agung RI. Padahal, undang-undang menyatakan bahwa hal itu harus diputuskan dan disampaikan oleh sebuah komisi khusus di lingkungan MA sendiri.

Penulis bersedia mengundurkan diri dari jabatan tersebut, hanya karena ia tidak menyukai perang saudara antara sesama warga negara RI, yang tentu akan menimbulkan korban jiwa.

Nah, kepentingan pribadi para pemimpin partai untuk melengserkan penulis, ternyata membawakan konsekuensinya sendiri sehingga soal-soal yang berkaitan dengan kondisi hukum nasional kita terabaikan sama sekali dan tidak dibicarakan lagi.

Namun tentu saja, di antara hal yang penting dibicarakan dalam masalah pelanggaran terhadap konstitusi adalah akibatnya yang semakin banyak. Yaitu merajalelanya korupsi di hampir semua bidang kehidupan. Baik oleh warga negara di luar pemerintahan, juga oleh lembaga-lembaga pemerintahan. Contohnya yaitu kemalasan para birokrat untuk mendasarkan perbuatan mereka kepada kemampuan lembaga-lembaga pemerintahan.

Kaum birokrasi pemerintahan yang mana pun, membawa cara kerja mereka sendiri dalam menentukan sikap lembaganya. Langkanya penertiban atas cara kerja para pegawai negeri yang jelas-jelas bertentangan dengan undang-undang itu, menimbulkan sikap bahwa hal itu harus mati-matian dipertahankan. Herankah kita kalau hal seperti itu melahirkan pendapat bahwa korupsi tidak bisa hilang dari negeri kita?



Jakarta, 6 April 2007

more

Dialog soal Negara Kesejahteraan


Kemarin lusa, aku ngopi di warung pak Kamil, tepatnya warung milik istrinya pak Kamil, karena pak Kamil adalah seorang tukang ojek. Warung sederhana dengan dinding dari bilik-bilik bambu dan berada di pinggir rel kereta api dekat pangkalan ojek. Nikmat, dengan kesederhanaan dan kesahajaannya, suasananya, pelayannya dan pelanggannya. Warung kopi tempat ngopi dan ngobrol apa saja dengan senda gurau yang khas masyarakat pinggiran, memang menarik.
" Sruut...., kemarin nonton dialog di TV gak?" tanya Jajang.
" Dialog apa, siapa?" sambut pak Kamil
" Itu tu, pejabat, profesor dan LSM"
" Soal apa.."
" Soal negara kesejahteraan"
" Bukankah seharusnya rakyat sejahtera, bukan negara?"celoteh bu Kamil.
" Gak tau tuh, orang-orang pintar itu. Koq negara yang harus sejahtera."
"Bukan begitu pak - bu." Sugito mencoba menjelaskan.
Sugito, seorang mahasiswa yang aktif di dunia gerakan dan senang membaca buku, terutama buku-buku berat, seperti buku Filsafat Dunia, Ideologi Dunia dan Teori-teori Sosial dan semacamnyalah, pokoknya yang berat-berat.

Kemudian Sugito memulai ceramahnya.
Asal usul Sosialisme berkaitan dengan perkembangan masyarakat Industrial, masa antara pertengahan dan akhir abad kedelapanbelas. Begitu juga dengan konservatisme sebagai lawan, yang dibentuk sebagai reaksi terhadap Revolusi Prancis. Sosialisme bermula sebagai kumpulan pemikiran yang menentang individualisme - kemudian kritik berkembang perhatiannya pada kapitalisme.

Cerocos Sugito, tanpa memperhatikan bagaimana wajah-wajah bengong dari orang yang ada di warung kopi tersebut.

"Sebelum bangkitnya Uni Soviet...." sambungnya
Yah, sebelum bangkitnya Uni Soviet, terjadi tumpang tindih antara sosialis dan komunis, yang mana keduanya berupaya mempertahankan keyakinan bahwa yang harus didahulukan adalah masalah sosial atau komunal, bukan perkara individual.
Sosialis pertama tama merupakan impuls dari filosofis dan etis, tampil sebagai doktrin ekonomi sebelum Marx - kemudian dilengkapinya dengan teori-teori ekonomi yang rumit. Sosialis berupaya untuk mengatasi kelemahan-kelemahan kapitalisme dengan tujuan agar lebih manusiawi atau sama sekali menumbangkannya. Yang mana teori ekonomi sosialisme didasarkan pada gagasan bahwa dengan hanya mengandalkan segala perangkatnya kapitalis secara ekonomi tak efisien, yang mana secara sosial akan menimbulkan pertikaian dan tak akan mampu mengembangkan dirinya sendiri dalam jangka panjang.

" Bapak-bapak tau gak"
Bagi Marx, berdiri atau runtuhnya sosialisme tergantung pada kapasitasnya menghasilkan kekayaan yang lebih besar daripada kapitalisme dan menyebarkannya secara merata.
Namun kenyataan menunjukkan keruntuhan sosialisme disebabkan secara oleh teori ekonominya sendiri, yaitu "PASAR" tidak dipandang sebagai perangkat penting informasi yang menyediakan data penting bagi penjual dan pembeli, kelemahan sosialisme semakin terbuka dengan pengaruh proses globalisasi dan perkembangan teknologi.
Nah, karena inilah maka Sosialisme klasik kemudian bergerak menjadi Demokrasi Sosial - Sosialisme Parlementer yang moderat - yang dibangun atas pengkonsolidasian negara kesejahteraan. Dimana kemudian sejak pertengahan tahun 1970-an, demokrasi sosial mendapat tantangan yang semakin hebat dari filosofi pasar bebas, khususnya Neoliberalisme (bangkitnya Thatcherisme dan Reaganisme). Neoliberalisme ini menjadi pedoman banyak partai konservatif. Bangkitnya Neoliberalisme ini, mempengaruhi pemikiran kaum sosial demokrat terhadap masalah-masalah sosialisme - mengalami perubahan konsep pemikiran dari demokrasi sosial klasik.

Bapak-bapak. Demokrasi sosial gaya lama atau klasik ini memandang kapitalisme pasar bebas sebagai sesuatu yang menghasilkan banyak efek problematik seperti yang didiagnosa oleh Marx, namun percaya bahwa hal itu dapat diatasi oleh intervensi negara di pasar, terutama soal pemerataan. Upaya pemerataan inilah yang menjadi perhatian khusus bagi kelompok sosial demokrat untuk mewujudkan kesejahteraan.

" Nah dari semua yang saya sampaikan tadi itu, maka timbullah istiliah Negara Kesejahteraan" Kata Sugito meyakinkan pendengarnya, walaupun pendengarnya tampak saja bengong.

"Negara Kesejahteraan itu mempunyai dua tujuan. Bapak tau?"tanya Sugito. Orang-orang disekitarnya pada geleng kepala, entah karena tidak tau atau tidak mengerti dengan apa yang disampaikan Sugito.

" Kedua tujuan tersebut adalah, menciptakan masyarakat yang lebih setara dan melindungi individu-individu di sepanjang siklus kehidupannya."

" Kita mah, gak ngarti dengan semua itu mas, mau Sosialis kek, kapitalis kek, pancasilais kek, atau kek - kek lain yang penting bagi kami itu gimana bisa cukup aja." celetuk bu Kamil mesam-mesem sambil ngaduk kopi.

" Ha ha ha ........." yang lain pada tertawa. Sedangkan Sugito yang gantian bengong.


Yuvusulikov, Jakarta 2008


Foto : http://tongkronganbudaya.files.wordpress.com

more

Belajar Dalam Hidup 1



Kejadian Diri

Renung ku dalam kesendirian malam ini
Renung untuk memaknai hikmah diri
................ Siapa aku ini?
Aku adalah tanah, api, air dan udara
yang dikumpulkan........
setelah dipisahkan
yang diperas
yang disaring
yang dipanaskan
yang didinginkan
yang diperlakukan dengan berkali-kali perlakuan
yang kemudian disimpan dalam kesucian penjara nafsu
yang terkunci dalam syulbi Adam dan Hawa
Dalam Kesaksian pada Mu, syulbi itu tersingkap
Dalam Kasih dan Sayang Mu, penjara nafsu terbuka
Dalam Nama Mu, aku diperlakukan
Dalam Hembusan Kesucian Mu, aku dikumpulkan
Atas Perintah Mu
Jibril meneguhkan ku
Israfil menerangi ku
Mikail memelihara ku
Izrail membai’at ku dengan Kepastian

Sejak itu...
Ya... sejak itu
Hidup dan matiku adalah contoh Keindahan dan Keagungan Mu
Aku menjadi utusanMu
Dengan membawa sifatMu, perbuatanMu, namaMu dan bayang-bayangMu.
Yang Kau pinjamkan, tapi....
Bukan membawa Zat Mu Yang Maha Agung
Maha Suci Zat Mu yang tidak serupa dengan ciptaan Mu



Yuvusulikov, Jakarta, 2008

more

 

September 2008, Design template by Ayi Fahmi.