Senin, 02 Februari 2009

DEGRADASI SPIRITUALITAS PENDIDIKAN DALAM UU BHP


Oleh : Happy Hendrawan (Penggerak Komunitas Transformatif Pontianak)

“Negara harus bebaskan biaya pendidikan, Negara harus bebaskan biaya kesehatan
Negara harus ciptakan pekerjaan, Negara harus adil, tidak memihak
Itulah tugas negara, Itulah gunanya negara, Itulah artinya negara
Tempat kita bersandar dan berharap ………………………….. (Iwan Fals: Negara)”

Hingar bingar dunia pendidikan kembali diramaikan oleh demontrasi-demontrasi kalangan civitas dunia pendidikan setelah sebelumnya aksi demontrasi dan bahkan mogok kerja kalangan guru honor dan bantu yang tak pernah jelas nasibnya. Belum lagi peristiwa kekerasan kalangan mahasiswa pada arah tindakan kriminal dalam bentuk tawuran. Boro-boro pendidikan menghasilkan residu akhir sebagai “gerakan spiritual” dalam mengembalikan dignity bangsa, jutru polemik dan kontroversial menjadi satu kesatuan pada wajah “proyek penyusunan UU” kalangan mafia Senayan dalam karakteristik aslinya. Perilaku nyolowadhi selalu saja berulang, setelah ketok palu colong playu dalam Undang Undang tentang Mahkamah Agung terkait dengan usia Hakim Agung, kembali terulang dalam Undang Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP).
Dalam kondisi yang tidak pernah kondusif dan sensitif dalam penyusunan dan pembahasan undang-undang di Senayan, apa yang dapat diharapkan terhadap kualitas produk undang-undang yang dihasilkan? Namun itulah hadiah akhir tahun 2008, bagi masyarakat Indonesia yang tengah dililit berbagai persoalan yang tak kunjung usai. Apakah kemudian kehidupan menjadi terhenti? Tentu tidak, sebab rakyat Indonesia telah terbiasa dalam kesulitan dan disulitkan, sehingga berjuta siasat menghadapi berbagai persoalan kehidupan adalah keunggulan mentalitas rakyat kecil!
Cuplikan syair lagu Iwan Fals di awal tulisan ini, yang didendangkan jauh hari sebelumnya, ternyata tidak berpengaruh dan memiliki makna apapun bagi mereka yang terlibat dalam penyusunan dan penetapan UU BHP.

Sejarah Pendidikan Indonesia dalam Perspektif Kolonialisme
Berbeda pada era pasca kemerdekaan hingga 1970an (sebelum proyek coba-coba Daud Yusuf dan gang Barkley) dimana pendidikan diselenggarakan semata-mata sebagai proses aufklarung bangsa, era sekitar 1975 – sekarang telah menjelma menjadi industri massal dan formalistik serta berkarakter kolonial. Secara teknis boleh-boleh saja terkesan modernis, gagah dan teknokratis meski spirit dan kerangka moralitasnya secara laten masih terendap mentalitas jajahan dan positivisme kebablasan. Residu akhir penyelenggaraan pendidikan hanya semata-mata terhenti pada secarik kertas yang bernama ijazah yang berfungsi sebagai syarat formal dalam mendapatkan pekerjaan. Persetan dengan kemampuan pikir dan trampil. Itu pula yang terekam secara jelas ketika rekruitmen Pegawai Negeri Sipil oleh negara dijadikan solusi terhadap masalah lapangan pekerjaan yang berpijak pada nilai selembar kertas. Tak peduli anggaran negara terengah-engah karena hampir 50% habis untuk gaji pegawainya. Maka tampaklah kemandegan pola pikir negara bagaimana penanganan masalah pendidikan sekaligus lapangan pekerjaan. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian masalah pendidikan didekati dalam paradigma industri yang menghasilkan manusia-manusia bermental buruh (hal senada dilontarkan pula oleh Menteri Kesehatan terkait dengan UU BHP).
Sesat pikir kebijakan pendidikan Indonesia terlahir sejak dalam kandungan ketika pendidikan dimanfaatkan untuk kepentingan sekelompok orang, dimana paradigma dan orientasi pendidikan kolonialisme Belanda permanen dalam alur pikir para pemangku kebijakan. Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mulai mengenyam cita rasa pendidikan ketika pemerintahan kolonial Belanda memulai gerakan industrinya di Indonesia. Kebutuhan tenaga kerja terampil untuk menggerakan industrinya sangat mendesak dan sangat mahal jika pemenuhan tenaga kerja didatangkan dari Belanda atau negara-negara Eropa. Sehingga jalan keluar yang efisien adalah membuka ruang bagi bumiputera untuk bersekolah, sebagai upaya mempersiapkan tenaga kerja administratur perusahaan-perusahaan kalangan kolonialis (kemudian menjadi administratur tata pemerintahan kolonial). Tentu saja dibutuhkan pembatasan-pembatasan dan seleksi ketat agar penyelenggaraan pendidikan bukan untuk melahirkan harimau-harimau pemberontak yang berpotensi memangsa dirinya sendiri. Maka jurus jitu yang paten adalah pendidikan hanya berlaku bagi kalangan priyayi dan ningrat. Apa sebab, karena kaum priyayi dan ningrat jelas kecil kemungkinan menjadi pemberontak setelah pintar bersekolah. Tetapi akan semakin menenyelusup sebagai penghamba jauh ke dalam ketiak kekuasaan kolonial. Hanya satu – dua yang kemudian menjadi tokoh pejuang atas kebenaran hakiki. Bagi kolonialis Belanda, hal tersebut merupakan kecelakan sejarah.
Apakah dalam Indonesia modern sekarang ini, masih harus menggantungkan diri pada kecelakaan sejarah terhadap dunia pendidikan kita? Ketika penyelenggaraan pendidikan kembali terarah pada watak kolinialis semacam itu. Bahwa modernitas bisa terjerumus pada tangan-tangan kolonialisme dalam wajah newimperialis yang dijalankan secara cerdas dan manis oleh kaum juragan. Siapa bisa sangka?

Pendidikan dalam Paradigma Industri
Seperti telah disinggung sebelumnya, dunia pendidikan kita telah terjerembab pada arus liberalisme dan kapitalisme total. Pendidikan semakin akrab bergandengan tangan dalam naluri industri dengan keluaran akhir adalah tenaga kerja. Semata-mata tenaga kerja. Hapus sudah karakter pendidikan sebagai bagian dari upaya membangun dan menjaga cita, citra serta dignity bangsa yang sedang dan semakin terpuruk. Hilang sudah nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang diagung-agungkan. Tinggal dongeng sebelum tidur belaka. Potret pendidikan kita telah kehilangan nilai dan terdegradasi spiritualitasnya yang mawujud dalam UU BHP. Akibatnya, arah pendidikan menjadi semakin rabun. Landas pijak pendidikan, berdasar UUD 1945 pasal 31 ayat 3 dan 4, yang mengamanatkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan biaya pendidikan harus didanai pemerintah, telah dibenturkan dengan realitas yang dikandung dalam UU BHP. Seperti misalnya pada Pasal 4 ayat 1 UU BHP yang menyatakan bahwa dalam pengelolaan dana secara mandiri, BHP didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya bukan mencari sisa lebih, sehingga apabila timbul sisa lebih hasil usaha dari kegiatan BHP, maka seluruh sisa lebih hasil kegiatan tersebut menjadi rente dalam gelombang kapitalisasi modal yang ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan. Jika demikian keuntungan apa yang di dapat masyarakt? Mungkin saja ini dianggap sebagai cara berpikir dan menafsir UU BHP secara parsial, namun apakah tak cukup geliat gusar para pakar pendidikan terhadapnya?
Kandungannya, pemerintah tidak sepenuhnya lagi berkewajiban menyuntikkan bantuan dana pendidikan. Bagaimana dengan kewajiban alokasi anggaran 20% dari APBN/APBD? Ah itu hanya merepotkan saja, apa untungnya bagi kaum birokrat dan legislator? Karakter aslinya adalah praktik komersialisasi pendidikan semakin terbuka lebar dan telanjang, tidak seperti sebelumnya yang malu-malu. Diskriminasi tak terelakan akibat sistem pasar yang lebih mengemuka. Sangat mengkhawatirkan apabila kemudian proses penyusunan UU juga dijiwai oleh pendekatan industri (baca: pasar)? Atau idapan autis begitu dahsyat menyerang Senayan? Sehingga begitu jauh panggang dari api antara nilai-nilai yang diamanatkan UUD 1945 yang mengatur penyelenggaraan pendidikan dengan UU BHP?
Jika berbagai kasus penyuapan, percaloan dan kasus-kasus berbau kongkalikong berbahan baku uang yang selama ini terungkap ke publik, maka patut menjadi kekhawatiran bersama warga bangsa terhadap mereka yang memutuskan UU BHP sebagai orang-orang yang berpikir modernis namun berwatak kolonialis dan agraris.

UU BHP dalam Konsepsi Erlebnis dan Kedangkalan Cita
Penggunaan kata erlebnis mengacu pada istilah yang digunakan Hegel dan menjadi umum digunakan kalangan kontra positivis dan Hegelian pada tahun 1870-an yang bermakna sebagai residu akhir dari sesuatu yang dialami secara real sebagai sebuah pengalaman yang dialami secara langsung. Dimana Dilthey memberikan konsepsi erlebnis sebagai ‘apa yang secara langsung diberikan (dialami: pen), material tertinggi untuk semua pembentukan imajinatif’. Kata erlebnis juga dimaknai sebagai perlawanan Hegel dan Hegelian terhadap jiwa positivis-industrialis yang bergerak pada arus borjuasi kelompok cinta kemapanan. Sehingga kemudian erlebnis tidak semata-mata sebagai sebuah kata, tetapi secara epistemologis dia beranjak pada konsepsi bagaimana kita memaknai sebuah pengalaman pada suatu perjuangan memperbaiki dan memajukan keadaan di ranah pembebasan. Paling tidak itu benang merah yang dapat penulis tarik.
Sementara parlemen atau lebih kerap disebut sebagai legislative adalah sebuah lembaga yang berisi sekelompok orang ataupun individual (independen) yang berasal dari berbagai kelas sosial dan latar belakang. Dimana keberadaan mereka atas dasar legitimasi rakyat dalam sebuah prosesi yang bernama Pemilu, yang kemudian popular dalam kosa kata khas Indonesia sebagai wakil rakyat. Persoalannya, bagaimana kita bisa menarik pola relasi antara penggunaan dan pemahamaan kata (konsepsi) erlebnis dengan cita parlemen yang direpresentasikan oleh mereka sebagai wakil rakyat dalam konteks UU BHP. Ditarik dari kesejarahan dunia pendidikan formal –sebagaimana diurai pada bagian terdahulu-, jelas bahwa kaum kolonial menyelenggarakan pendidikan semata-mata bertujuan penyediaan tenaga kerja siap pakai bagi kepentingan industrialisasinya. Meski demikian, kemudian ruang-ruang sempit tersebut dimanfaatkan kalangan anak bangsa untuk melakukan pendadaran pengetahuan dan mentalitas dalam membangun dan mewujudkan dignity sebagai sebuah bangsa yang merdeka dari cengkeraman penjajahan. Kondisi itu berlanjut pasca mengumandangkan kemerdekaan sebagai upaya penempaan cita dan citra bangsa yang sedang membangun pondasi nilai-nilai kebangsaannya dalam spiritual keindonesiaan.
Berdasarkan rangakaian pengalaman bathin dalam proses sejarah yang pahit dan panjang tersebut mestinya dunia pendidikan dibangun dalam pondasi yang tidak autis dan terbelenggu semata-mata pada kebutuhan pasar dan industrialisasi dunia pendidikan yang kapitalistik dan supra liberal. Sehingga dengan demikian antara konsepsi erlebnis dengan cita parlemen dalam sebuah produk undang-undang memiliki realitas sosial dan politiknya. Alangkah ironis dan menggelikan ketika fakta sosial dan politik yang mengemuka adalah karakter penghambaan terhadap “kelompok juragan dan penyamun” atas daya tahan bangsa. Sebab pendidikan mestinya tidak semata-mata sebuah proses produksi tenaga kerja, tetapi benar-benar sebagai tiang penyangga dalam membangun mentalitas dan budaya bangsa. UU BHP diyakini oleh banyak kalangan yang peduli terhadap masalah pendidikan telah melahirkan pelayanan pendidikan yang diskriminatif. Ia diposisikan dalam penciptaan disparitas pendidikan antara anak-anak kaum borjuis (khususnya kaum borjuasi baru dari hasil korup) dengan anak-anak kalangan marhaenis. Hukum ekonomi sejati menerap dalam UU BHP, yakni pendidikan harus diukur dalam ruang lelang seberapa banyak uang yang dipunya, maka layaknya dia menyandang status siswa/mahasiswa persetan hasilnya tetap bebal.
Tentu kita tidak berharap UU BHP menegasikan tujuan penyelenggaraan pendidikan sebagaimana diamanatkan UUD 1945 sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai jembatan emas bagi masa depan anak bangsa yang tercerahkan, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dalam berkesempatan dan berperan memajukan negeri di segala dimensi. Sistem pendidikan bangsa ini harus dihindarkan dari pendidikan tinggi yang bersifat elitis dan eksklusif. Ia tidak dilahirkan untuk hadir pada ruang dan kelompok orang tertentu, tetapi melayani kepentingan bersama sebagai sesama anak bangsa. Maka, mari bersama-sama lakukan pelurusan dengan judicial review, bergerak dan terus bergerak !
Konon, seorang pejabat tinggi dari sebuah propinsi di Kalimantan bersedia “memenangkan lelang” kursi dalam bentuk uang gedung setara dengan harga sebuah mobil mewah seri terakhir untuk anaknya agar dapat masuk fakultas kedokteran sebuah PTS di propinsi yang terkenal sebagai kota pendidikan. Itu terjadi jauh sebelum UU BHP ketok palu, lalu bagaimana dengan kekinian ketika UU yang berkarakter liberal dan kapitalistis diberlakukan? Tentu banyak lagi fakta lain yang terjadi, anda bisa ceritakan?

Jogjakarta, 2 Januari 2009


more

 

September 2008, Design template by Ayi Fahmi.