Tampilkan postingan dengan label Referensi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Referensi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 Oktober 2008

Membangun Masyarakat Baru

Negara - bangsa Indonesia, sudah masuk dalam keadaan yang melahirkan kebijakan-kebijakan nasional jangka pendek yang bersifat adhoc, dan akibat logis berikutnya, seluruh aspek kehidupan negara-bangsa Indonesia akan didikte oleh aktor-aktor kapitalisme global yang bergerak di pasar modal, pasar financial, pasar komoditi dan pasar informasi/media.

Menghadapi situasi yang demikian memang sulit, sebab kita tidak mungkin keluar dari cengkraman kapitalisme global karena Indonesia telah ikut menjadi penandatangan APEC dan telah terdaftar sebagai anggota organisasi perdagangan dunia WTO. Yang paling mungkin dilakukan adalah menerima keberadaan kapitalisme global secara sadar, kritis dan cerdas. Setelah itu langkah selanjutnya adalah merumuskan kepentingan kolektif nasional dengan melihat potret besar konstalasi politik internasional sebagai acuan, dengan tetap menjadikan kepentingan dan cita-cita kemerdekaan bangsa sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan UUD 45 sebagai titik pijak bersama.

Secara konseptual ada beberapa model sosio-ekonomi-politik yang saat ini berkembang di dunia, seperti bentuk welfare-state ala Eropa Barat daratan, the third-way ala Inggris, sosialisme-pasar ala Cina dengan pola satu negara dua sistem, kapitalisme-industrial-progresif ala Amerika Serikat, kapitalisme-retail ala India dan lain sebagainya.

Semua konsep dan model diatas bisa dipilih untuk menjawab tantangan berat yang dihadapi oleh negara-bangsa Indonesia saat ini. Semua terpulang kembali pada setiap elemen dari warga-bangsa Indonesia untuk menentukan pilihan, sudah tentu dengan memperhitungankan pula keberadaan sumber daya alam dan manusia, keadaan geografi, demografi, kultur, sistem nilai, kondisi sosial dan infrastruktur yang ada.


( Catatan: Penggalan Buku " Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia ", Karya Hasyim Wahid, dkk. Seri Pendidikan Politik, Penerbit LKiS, Hal. 41 )

more

Rabu, 24 September 2008

Kiai Wahab Berbagi Kebebasan


Dicuplik apa adanya dari:(A. Mun’im DZ- NU-online)- http://www.nu.or.id

Pada dasawarsa 1950-an politik nasional belumlah stabil, di sana sini masih terjadi pemberontakan daerah. Hubungan antara sipil dengan militer juga masih tegang. Dalam situasi begini demokrasi liberal diperlakukan dengan sistem multi partai dan kebebasan pers yang tanpa batas.

Dengan kondisi politik seperti itu ditambah pers yang bebas menyiarkan apa saja, baik yang bersifat politik maupun kebudayaan, membuat negara ini semakin labil. Karena siaran itu dibaca dan diikuti masyarakat, sehingga pertikaian elite menjadi pertakaian di masyarakat bawah. Lagi pula banyak strategi militer dan rahasia negara disiarkan untuk umum. Hal itu tentu bisa mengancam keselamatan negara dan bangsa.

Melihat kenyataan itu Jaksa Agung Suprapto pada 1953 tidak tahan melihat ulah pers, yang telah membahayakan keselamatan negara. Lantas mengeluarkan edaran agar pers tahu diri dalam menyiarkan informasi, agar melakuakan selfsensor apa yang pantas dan tidak pantas diberitakan.

Seruan itu mendapat tanggapan keras tidak hanya dari kalangan pers sendiri, tetapi juga mendapat kecaman keras dari pimpinan partai politik. PSI yang menganjurka kebebasan menilai edaran itu telah melanggar hak asasi manusia dan kebebasan berbicara. Masyumi menilainya sebagai warisan kolonial yang selalu berusaha memberangus kebebasan pers. Kedua partai itu kemudian mengajukan mosi tidak percaya pada pemerintah.

Menghadapi hal itu KH Wahab Chasbullah dari Partai NU mengatakan bahwa pengusul mosi itu tidak konsekuen, sebab yang memiliki kebebasan berpendapat bukan hanya pers saja, tetapi semua warga negara, termasuk Jaksa Agung, kalau pers tidak mau dikekang Jaksa Agung juga jangan dikekang. Pers jangan naif hanya minta kebebasan, tetapi tidak mau memberi kebebasan pada pihak lain, ini tidak realistis.

Akhirnya mosi yang diajukan PSI dan Masyumi itu kalah suara secara telak dengan perbandingan 76 lawan 41. Karena semua berpendapat bahwa kebebasan dari kemiskinan dan keterancaman dari musuh, dan kebutuhan terhadap keamanan negara, lebih penting ketimbang sekedar bebas untuk berbicara, yang hanya dimiliki sekelompok elite politik dan pengelola pers.


more

Persekutuan DI dengan NEFIS Belanda


Dicuplik apa adanya dari:(A. Mun’im DZ - NU-online)- http://www.nu.or.id

Orang melihat bahwa perjuangan DI-TII (Darul Islam – Tentara Islam Indonesia) pimpinan Kartosuwirjo itu memang murni didorong oleh semangat Islam. Tetapi dalam kenyataannya perjuangan itu penuh dengan kepentingan jangka pendek yang merugikan. Bagaimana pemberontakan bersenjata yang dianggap sebagai jihad atau perjuangan suci itu ternyata dilakukan dengan berbagai cara yang tidak Islami. Mulai dari perampokan harta rakyat, menjarah aset negara, hingga bersekongkol dengan kolonial Belanda.

Persekongkolan dengan Belanda ini memang benar-benar terjadi. Tetapi dalam buku Van Dijck maupun Denggel sama sekali tidak disebutkan adanaya persekongkolan berbahaya itu. Pada tahun 1954, Polisa dan Kejaksaan Agung RI membongkar adanaya kerjasama DI dengan tentara Belanda seperti Schemidt dan LN Jungschlanger, bekas aparat Nefis (Intel Angkatan Laut Belanda). Mereka tidak hanya memberi senjata, tetapi mengerahkan pasukan dan juga mencetak uang palsu sebanyak 50 ribu lembar untuk kepentingan DI di Jawa Barat.

Atas tindakan makarnya itu, mereka ditangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman berat oleh pemerintah Indonesia. Tetapi mereka mendapat pembelaan keras dari para advokat Belanda seperti Booman serta dukungan (support) dari para sarjana Amerika, seperti Henry P Devios (Universitas Colombia), Herry Gedeonse (Universitas Brooklyn), dan Harold Vourhoos (Universitas New York). Ini semata dilakukan karena anak Jungshlanger menjadi tentara Amerika.

Tidak hanya itu DI juga bersekongkol dengan Westerling yang lari ke Jawa Barat setelah membantai 40 ribu rakyat Sulawesi Selatan, sehingga sisa laskar penjajah itu kembali menemukan medan perjuangan. Bahkan Westerling mendapat tugas untuk membantai Presiden dan beberapa menteri.

Melihat kenyataan itu, NU, sedari awal, menengarai petualangan DI yang berhaluan Islam Wahabi itu sebagai bughat (pemberontakan) terhadap pemerintahan RI yang absah, karena itu harus dilawan. Ini bukan karena NU mengekor pada Soekarno, tetapi ini tindakan makar yang tidak bisa dibenarkan secara syar’iyah, walaupun atas nama penegakan Negara Islam. Apalagi, petualangan mereka itu sudah berani bermain api dengan melakukan kerjasama dengan tentara Belanda. Kerjasama ini berarti memberikan peluang kembalinya penjajahan Belanda di bumi pertiwi. Padahal dengan tegas NU telah mengeluarkan Resolusi Jihad, yang mewajibkan bagi seluruh umat Islam untuk mengusir penjajah di manapun berada


more

Selasa, 16 September 2008

Meditasi Pernafasan


Kadang kita merasa suntuk, dada rasanya terhimpit benda berat, atau apalah yang membuat kita merasa tertekan. Ada banyak cara untuk bebas dari rasa itu, yang paling tepat adalah selesaikan apa yang jadi penyebabnya. Tapi kadang, bahkan sering kita tidak mampu menyelesaikannya dan bahkan lari dari persoalan tersebut, atau bahkan tidak tahu apa yang jadi penyebab rasa tersebut. Secara sederhana sebenarnya semua itu berasal dari pikiran/akal kita, makanya sering orang sebut "mati akal", karena sel-sel syaraf di otak kita tidak bekerja dengan maksimal, padahal dia bisa mengeksplor secara tak terbatas alam ini. Satu cara yang bisa digunakan adalah Meditasi, meditasi ini banyak macamnya. Satu model yang aku kenal yaitu Meditasi Pernafasan.
Sebelumnya aku mau sampaikan sedikit apa itu nafas (konon menurut apa yang diajarkan Sunan Kalijaga, semoga benar). Dalam ajaran Islam Jawa ada 4 jenis nafas, yaitu:
1. Nafas, adalah Tali Tubuh yang dipahami sebagai titian tubuh, letaknya ada di dalam hati suweda ( hati yang menjembatani pikiran yang suci), wujudnya adalah udara yang keluar dari badan, udara ini mengandung CO2 dan keluar dengan sendirinya secara normal, karena CO2 keluar maka pikiran menjadi jernih.
2. Tanafas, adalah Tali Hati, yang mengikat hati sirri (rasa hati), adalah sumber dari perasaan hati yang jernih dan letaknya ada di daerah pusat (puser), wujudnya adalah udara segar yang mengandung O2 yang masuk kedalam tubuh.
3. Anfas, adalah Tali Ruh, yaitu tali yang mengikat Ruh dengan Jasmani yang letaknya ada di Jantung, wujudnya udara yang ada di dalam tubuh (udara yang ditahan/tertahan didalam tubuh).
4. Nufus, adalah Tali Rahsa/rasa, merupakan jembatan jantung yang menghubungkan rasa dengan atma, letaknya di dalam bagian jantung yang berwarna putih (beraura putih), wujudnya udara yang bergerak dari kiri ke kanan dan meliputi segenap tubuh jasmani dan rohani.

Kemudian, bagaimana cara meditasi pernafasan tersebut. Ada beberapa tahap yang dilakukan, yaitu:
1. Berwudlu/bersuci (Bersihkan diri dulu )
2. Duduk yang nyaman/relax (posisi apa saja terserah, yang penting nyaman, sebaiknya duduk bersila), pejamkan mata dan tutup mulut.
3. Hembuskan nafas secara perlahan dari hidung
4. Hirup udara perlahan-lahan, dan bayangkan daya bergerak dari pusat/puser menuju jantung (bagian dada kiri), terus ke hati, lalu kembali ke pusat/puser lalu naik lurus ke ubun-ubun.
5. Tahan sejenak. (kira-kira 3 - 5 ketukan)
6. Hembuskan nafas perlahan-lahan, dan bayangkan daya bergerak mengitari tubuh dari kiri ke kanan, yaitu dari ubun-ubun menjalar ke bagian tubuh sebelah kiri belok ke kanan pada posisi datar duduk sampai bagian kanan tubuh, terus naik ke ubun-ubun lalu turun ke pusat/puser.
7. Tahan sejenak.
Kemudian ulang dari tahap ke 3 dan seterusnya.
Lakukan ini sedikitnya 11 kali, sebaiknya sambil dzikir atau mengingat Tuhan.

Mudah-mudahan meditasi pernafasan ini dapat membatu kita mengatasi perasaan tertekan itu.
Sekian aja.....

Yuvusulikov, Jakarta 2008


more

Kamis, 11 September 2008

Antara NKRI dan Federalisme


Oleh Abdurrahman Wahid
(Maaf saya ambil tanpa ijin, ini Asli tulisan Gus Dur silahkan masuk ke http://gusdur.net)


Istilah NKRI dipakai oleh para pendiri negara ini untuk menunjukkan bahwa ia adalah sebuah negara dengan kepemimpinan tunggal dan arah perjalanan hidup yang sama bagi warga bangsa ini.

Namun kini istilah yang berarti Negara Kesatuan Republik Indonesia, sering dijadikan lawan bagi sebuah istilah lain, yaitu keberbagaian (pluralitas) dan toleransi. Padahal itu semua perlu ada, untuk menjawab tantangan yang mengganggap kita tidak mungkin membuat sebuah negara dan bangsa yang bersatu.

Beberapa bidang telah memiliki format persatuan yang jelas sehingga tidak memerlukan penegasan. Contohnya adalah bahasa nasional kita yang dikembangkan dari bahasa Riau, antara lain oleh Raja Haji Ali,yang dimakamkan di Pulau Penyengat.

Dari bahasa Riau itu, kemudian muncul dua buah bahasa pada tingkat nasional, yaitu bahasa nasional kita -dikenal dengan nama bahasa Indonesia. Juga bahasa nasional Malaysia -disebut juga bahasa Malaysia. Untuk mendukung keberadaan bahasa Indonesia itu, dibuatlah istilah NKRI. Tentu saja, hal-hal seperti itu tidak pernah dijelaskan dengan gamblang.

Kesatuan dan ‘federalisme’ ternyata berkembang dengan baik dalam pengelolaan negara. Lalu timbul keinginan untuk menekankan kesatuan sehingga dengan sendirinya istilah NKRI semakin banyak muncul dalam pembicaraan di kalangan bangsa kita.

Sebab lainnya adalah banyaknya tuntutan otonomi yang akan semakin memupus kekuatan pusat (dan tentu saja semakin kuatnya kekuatan pemerintah daerah dan penambahan kekuasaannya).

Ada pihak yang merasa bahwa kedua hal itu tidak perlu dikemukakan lagi, minimal dalam rumusan resmi berbagai instrumen dasar negara kita. Dengan sendirinya, hal itu akan diliput oleh berbagai undang-undang organik. Dengan demikian, instrumen-instrumen dasar tersebut tidak perlu kita ubah dan tidak perlu adanya amandemen.

Namun sekarang pola dialog tentang UUD menjadi “kemasukan angin” dan kita lalu berdialog dengan menggunakan istilah yang berbeda- beda. Sebenarnya, kerancuan dialog inilah yang harus kita mengerti, bukannya “salah sambung” yang terjadi antara kita sendiri.

Memang, mencari pengertian yang sama tentang sesuatu hal, apalagi yang terkait dengan instrumen dasar sebuah negara, bukanlah pekerjaan mudah. Ia memerlukan juga kejujuran mutlak di samping kemampuan (expertise).

Karena itu, dialog di antara berbagai pihak tentang instrumen dasar negara seperti digambarkan di atas memerlukan kesabaran dan jangka waktu yang panjang. Oleh sebab itu, cara “menyelesaikan” masalah undang-undang dasar kita memerlukan ketabahan yang boleh di kata luar biasa. Karena itu, panjangnya waktu dan penunjukan siapa yang membicarakan undang-undang dasar itu, menjadi sangat penting bagi negara kita. Penilaian akhir tentang perlu atau tidaknya UUD kita di amandemen, bukanlah perkara kecil.

Dalam sebuah halaqoh tentang konstitusi dan temu wicara hukum acara yang diselenggarakan DPP PKB dan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini, penulis menyatakan bahwa penulis adalah korban dari sebuah komplotan jahat yang akhirnya memaksa untuk mengundurkan diri dari jabatan Presiden RI pada 21 Juli 2001.

Mengapa penulis menamakan proses itu sebagai komplotan? Berarti ada sesuatu yang melanggar hukum dan menentang konstitusi? Jawabnya karena hal itu memang demikian, Dimulai dari Pansus Bulog dan Brunei Gate, yang dipimpin Bachtiar Chamsyah. Hal itu saja sudah dapat menunjukkan adanya proses idealisasi nilai-nilai yang dianggap “Islami” sebagai capaian yang harus diperoleh organisasi-organisasi Islam. Bukankah itu pelanggaran konstitusi? Bachtiar Chamsyah sendiri melakukan pelanggaran undang-undang dengan membiarkan pintu sidang-sidang pansus terbuka sekitar sepuluh centimeter. Maksudnya, agar para wartawan dapat merekam pembicaraan yang terjadi dalam ruangan.

Padahal, sebuah undang-undang secara spesifik melarang sidang-sidang pansus dilakukan secara terbuka. Memang, karena dari semula sejumlah parpol dan perwira tinggi TNI sudah memutuskan untuk menyingkirkan penulis dari jabatan Presiden RI. Karena itu, segala macam pelanggaran dibiarkan saja. Bahkan, alasan formal yang tadinya berupa ‘pelanggaran legalitas’ oleh penulis, akhirnya tidak dapat dibuktikan. Akibatnya, diambil keputusan politik untuk menyingkirkan penulis dari jabatan kepresidenan.

Langkah itu diambil dengan berbagai macam pelanggaran, seperti tidak adanya pembicaraan hal itu di DPR RI dan pelanggaran di Mahkamah Agung, ketika keputusannya diberitahukan kepada MPR RI oleh ketua Mahkamah Agung RI. Padahal, undang-undang menyatakan bahwa hal itu harus diputuskan dan disampaikan oleh sebuah komisi khusus di lingkungan MA sendiri.

Penulis bersedia mengundurkan diri dari jabatan tersebut, hanya karena ia tidak menyukai perang saudara antara sesama warga negara RI, yang tentu akan menimbulkan korban jiwa.

Nah, kepentingan pribadi para pemimpin partai untuk melengserkan penulis, ternyata membawakan konsekuensinya sendiri sehingga soal-soal yang berkaitan dengan kondisi hukum nasional kita terabaikan sama sekali dan tidak dibicarakan lagi.

Namun tentu saja, di antara hal yang penting dibicarakan dalam masalah pelanggaran terhadap konstitusi adalah akibatnya yang semakin banyak. Yaitu merajalelanya korupsi di hampir semua bidang kehidupan. Baik oleh warga negara di luar pemerintahan, juga oleh lembaga-lembaga pemerintahan. Contohnya yaitu kemalasan para birokrat untuk mendasarkan perbuatan mereka kepada kemampuan lembaga-lembaga pemerintahan.

Kaum birokrasi pemerintahan yang mana pun, membawa cara kerja mereka sendiri dalam menentukan sikap lembaganya. Langkanya penertiban atas cara kerja para pegawai negeri yang jelas-jelas bertentangan dengan undang-undang itu, menimbulkan sikap bahwa hal itu harus mati-matian dipertahankan. Herankah kita kalau hal seperti itu melahirkan pendapat bahwa korupsi tidak bisa hilang dari negeri kita?



Jakarta, 6 April 2007

more

 

September 2008, Design template by Ayi Fahmi.