Senin, 22 September 2008

Cerita. 2: Syari'ah Islam "Berpijak Pada Kondisi"


Satu bulan sudah berlalu, sejak pertemuan yang tak terduga tersebut. Tayangan di televisi mengenai topik syariat Islam sudah mulai berkurang. Entah, mungkin menurut media topik tersebut tidak layak jual lagi, pastinya untuk sementara, dan yang lagi hangat-hangatnya soal kenaikan BBM.

Sambil otak-atik computer dan melayang-layang di dunia maya, entah kenapa aku jadi teringat bapak yang memberiku penjelasan mengenai syariat islam, mungkin karena aku ngeklik situs yang nuansanya syariat banget kali. Aku ambil secarik kertas yang berisikan alamat bapak itu.
“Pak Musadad, Jl. Tarogong No. 6 Garut.” Aku baca tulisan diatas kertas itu. Tiba-tiba saja aku berniat untuk berkunjung kesana besok.

Singkatnya, aku sudah dalam perjalanan ke Garut, menuju rumah bapak itu. Di mana-mana terlihat berbagai spanduk yang berisikan macam-macam tema di sepanjang jalan. Ada yang bertema Partai Politik, Himbauan Pemerintah, Iklan dan ada juga yang bertema Syariat Islam. Beberapa saat kemudian aku tiba di alamat pak Musadad, kemudian.

“Assalaamualaikum…..” ucapku
“Wa alaiikum salaam, sampai juga rupanya mas ini ke tempat saya” Jawab pak Musadad sambil menyalamiku dengan hangat, walau dia belum tahu namaku dan hanya sekali bertemu pada saat itu.

Saat itu rasanya ingin aku mencium tangannya, karena dalam hati aku sudah menganggap dia sebagai guruku. Mencium tangan seorang guru aku rasa layak dilakukan seorang murid, walaupun itu hanya tradisi, bahkan bukan tradisi bangsa ini, tradisi cium tangan ini konon katanya tradisi kaum Syiah. Tangan bapak itu akhirnya kucium juga sebagai penghormatan.

“Tidak perlu seperti ini mas….” Kata bapak itu ingin mencegah. Tapi tetap tangan itu kucium.

“Tidak apa-apa pak, walau ini bukan tradisi atau budaya bangsa kita, saya rasa hal ini bisa kita ikuti sebagai penghormatan anak, adik atau murid terhadap orang tua, kakak dan guru. Toh tidak ada bedanya dengan saling rangkul atau cipika-cipiki.

“Ha ha ha…..” Bapak itu tertawa sambil menepuk-nepuk pundakku.

Setelah sekian waktu ngobrol-ngobrol ringan dan saling Tanya kabar, serta menyeruput secangkir kopi panas dan makan singkong rebus, aku lanjutkan dengan bertanya soal Syariat Islam.

“Pak, saya ingin dengar penjelasan bapak soal syariat/hukum Islam lebih jauh, sebagai lanjutan diskusi, maksud saya pembelajaran kita waktu itu.” Sengaja aku tekan kata pembelajaran, untuk menegaskan pada bapak itu kalau aku ingin tahu lebih banyak.

“Oh iya, sampai dimana waktu itu.”

“Sampai pada umat yang tidak punya kapasitas dan kapabilitas keilmuan boleh juga berijtihad, tapi berijtihad dalam bermadzhab yang cocok untuk dirinya.”

“Ya, ya…., nah sebagai dampak dari kebebasan ber ijtihad itu terlihat jelas pada realita yang ada, sebagai contoh
Madzhab Syafi’i dianggap cocok dan mayoritas di daerah tropis seperti Malaysia, Brunei dan bangsa kita Indonesia.
Madzhab Hanafi dan Hambali
sangat cocok di daerah subtropis seperti Negara-negara di Asia Tengah yaitu India, Pakistan, Saudi Arabia dan Kuwait.
Madzhab Maliki di daerah sekitar kutub seperti Andalus, Maroko, Tunis dan Al jazair.
Madzhab Imamiah di Iran dan kaum Syi'ah.” Kemudian bapak itu melanjutkan

“Selain itu, umat juga diberi wewenang untuk berijtihad di dalam penerapan hukum syariah, dalam hal ini umat berijtihad dengan beragam cara, ada yang melalui formalisasi agama, jalur politik, dan ada juga yang melalui jalur kultur/budaya religi yaitu penerapan hukum syariat yang berpijak kepada kondisi umat.”

“Ada hal yang harus dipahami menurut saya, yaitu Hukum Syariah dalam batasan tertentu masih berstatus teoritis-idealis, karena finalnya tidak terletak pada tataran konsep, tapi pada kondisi penerapannya, oleh karena itu hukum syariah bersifat sangat kondisional, inilah yang menunjukkan bahwa syariat islam itu fleksibel atau tidak kaku.”

“Kira-kira seperti itu. Sebagai contoh saja, sesuatu yang menurut hukum syariah wajib apabila belum terpenuhi faktor penyebab, syarat dan ada faktor kendala, hukum wajib itu bisa berubah.”

“Contohnya apa pak, sesuatu yang diwajibkan dalam syariah bisa berubah status hukumnya?” Tanyaku ingin penjelasan yang lebih konkrit.

“Lho, misalnya ibadah Haji, menurut syariah itu wajib, bahkan merupakan rukun Islam, tapi karena faktor syarat dan kondisi seseorang seperti kesehatannya, ekonominya dan sarana yang tidak ada, apa dia tetap wajib melaksanakan ibadah haji, saya rasa hukumnya menjadi tidak wajib, dan masih ada lagi contoh lainnya” Jawab bapak itu.

“Nah, oleh karena itu penentu utama dalam pelaksanaan hukum syariah adalah kemampuan dan kondisi umat yang menjadi sasaran dari hukum syariah itu. Coba mas, pelajari Ilmu Usul Fiqih atau al ahkaam al wadl’iyah, yakni faktor sebab, syarat dan keberadaan kendala, dengan itu nanti mas, akan tahu penerapan hukum syariah yang seirama dengan kebijakan agama dapat diberlakukan melalui upaya peng-kondisian umat yang dalam bahasa sosiologinya sering disebut jalur kultur/budaya religi.”

“Begitu ya pak..." Kataku takjub

“Saya rasa seperti itu, dalam peng-kondisian tersebut Allah SWT selalu memerintahkan kepada umat untuk menghindari segala sesuatu yang sulit. Seperti yang terdapat di dalam Alqur’an Surat Thaha ayat 2, “Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah.” Kira-kira seperti itu terjemahannya.” Jawab pak Musadad.

“Nah , jadi penerapan hukum Syari'ah itu juga harus berpijak pada kondisi yang ada mas. Sudah adzan lohor, jika berkenan mari kita sholat bareng.” Bapak itu mengajakku ramah. Pada saat itu terdengar suara adzan, dan iramanya khas Sunda. Kami pun sholat berjama’ah…………………………………………………………………………………………………!!!




Yuvusulikov, Jakarta 2008
Referensi: Kyai Bendo - Garut

3 komentar:

Anonim mengatakan...

pertama...hemmm...kalo bagi saya syariat ga usah diformalkan aja mas.hehehe

Santri Kelana mengatakan...

Maksudnya gak usah di formal kan itu gmn...?

Sastra Bebas mengatakan...

Mau Formal atau tidak, bukan itu persoalannya...,
Tapi apakah itu menjadi kesepakatan bersama atau tidak, apakah ada pemaksaan atau tidak...

 

September 2008, Design template by Ayi Fahmi.