Jumat, 12 September 2008

Bekerja Pada Tuhan


Siang ini aku di stasiun kereta Senen, menunggu kereta menuju Surabaya, hendak hati ingin mudik ke Banyuwangi untuk berlebaran dengan keluarga. Jadwal kereta berangkat sih entar sore, karena jumlah penumpang yang membludak, aku putuskan siang ini sudah di stasiun, kawatir gak dapat tempat, maklum kereta yang akan kutumpangi adalah kereta ekonomi.
Dalam penantian yang cukup panjang itu, aku ngobrol dengan seorang kakek bersahaja, kebetulan dia juga mau ke Surabaya terus melanjutkan perjalanannya ke Jember.
"Puasa kek.."tanyaku (seakan aku orang yang paling taat)
Kakek itu hanya tersenyum. Sebuah jawaban yang penuh makna, kemudian aku sadar aku telah membuka perkenalan dengan pertanyaan yang salah. Senyum kakek itu lebih bermakna ibadah yang sebenarnya.
"Maaf kek, sendirian..."
Lagi-lagi dia tersenyum, bahkan senyumnya lebih istimewa dari sebelumnya, lebih penuh makna. Aku semakin terperanjat dan salah tingkah. Dan kemudian aku hanya garuk-garuk kepala, bukan karena ketombe atau kutu, tapi rasa gatal itu seakan ada di dalam kepalaku.
"Kulo, mau ke Surabaya mas.., sampean..?"
"Sama kek, ke Surabaya juga. Surabayanya di mana kek..?"
"Di stasiun Turi" jawabnya
"Rumah kakek dekat stasiun?"
"Tidak, dari sana kulo melanjutkan ke Jember mas"
"O..., saya ke Banyuwangi kek"
Kemudian tidak ada dialog lagi.

Diam.
..................................................

Saat kereta tujuan Surabaya datang, baru ada kata yang terucap dariku.
"Mari kek, kita sama-sama masuk"
"Monggo..."
Dengan berdesak-desakan, aku masuk ke gerbong sesuai dengan tiketku, dan kebetulan kakek itu juga di gerbong yang sama. Harus dengan usaha yang keras untuk dapat tempat duduk. Dorong sana, dorong sini..., berhasil, kami dapat tempat duduk.
Setelah duduk, kakek itu berkata, seakan akan untuk semua orang.
"Seperti orang yang mau cium Hajar Aswad, untuk mendapatkan tempat duduk. Harus berjuang"
Tujuhbelas menit kemudian kereta mulai bergerak, dan tujuhbelas menit kemudian saat berbuka tiba.
Allahu Akbar.....Allahu Akbar.... Seketika itu aku minum dan makan kue yang kubawa, persis seperti orang yang sangat lapar. Aku tidak menghirauan pandangan kakek disebelahku, mungkin dia tersenyum melihat tingkahku, ah perduli amat dengan tatapan itu, aku sudah lapar dan bukankah adzan tadi pertanda saat untuk membatalkan puasa sejak pagi tadi.
"Bagaimana mas, nikmat berbukanya..." tanya kakek itu kemudian.
"He eh...."
"Pelan-pelan saja mas, pasti akan lebih nikmat. Apalagi disertai do'a dan rasa syukur, pasti lebih nikmat."
"He eh, iya kek, terimakasih" Jawabku, dan kakek itu tersenyum.

Diam lagi.
.........................................................

Tujuhbelas menit kemudian. Aku mulai mengajak ngbrol kakek itu.
"Kek.., tadi kakek sedang apa, bergerak-gerak penuh irama seperti itu padahal kereta tidak tersendat sendat."
"Hanya menjalankan apa yang jadi perintah saja mas."
"Perintah apa dan siapa yang yang memerintahkan kakek untuk bergerak seperti itu."
"Mas lupanya, ada waktu-waktu yang sudah ditetapkan untuk menjalankan apa yang sudah diperintahkan."
"........, Masyaallah. Maafkan saya telah bertanya dengan pertanyaan bodoh." Saat itu aku langsung bertayamum, karena tidak tersedia air di kereta. Aku sholat maghrib.

Diam lagi.
...........................................................

Tujuhbelas menit kemudian, (Waktu yang panjang untuk melakukan sholat maghrib dan berdo'a). Kami ngobrol kembali.
"Maaf kek, lama sekali saya sholat dan berdo'anya"
"Bagus mas, lebih lama dari itu malah lebih baik. Bukankah sholat dan berdo'a adalah saat kita berdialog bahkan bertatap wajah dengan Sang Khalik. Seharusnya mas bersyukur diberi waktu yang lama untuk berdialog dengan Nya. Sedangkan kulo hanya sebentar, karena ada perintah yang lain yang harus kulo laksanakan."
"Perintah apa itu kek.' tanyaku heran.
"Mengingatkan sampean..."
"Siapa yang memerfintahkan itu kek"
"Ya Gusti Allah mas.."
"Jadi.......?" Aku hanya terbengong-bengong.
"Bukan cuma kulo yang diperintah Gusti Allah, tapi semua makhluk itu diperintah oleh Nya mas." Kakek itu mulai menjelaskan.
"Terutama makhluk yang disebut manusia diperintah oleh Gusti Allah, bukankah sudah ada dalam kitab suci keterangan tersebut. Bahkan seharusnya manusia itu menyadari bahwa dia itu bekerja kepada Gusti Allah, sejak dia dilahirkan ke dunia ini, saat dia keluar dari rahim ibunya, dia sudah harus bekerja. Tangisan bayi itu adalah pekerjaan pertamanya, saat dia menangis, ibu atau orang yang membatu proses kelahirannya itu langsung merawatnya, nah rawatan yang dia dapat itu adalah ganjaran atau dalam bahasa manusia disebut honor atas pekerjaannya. Kalau dia tidak melaksanakan perintah itu apa yang dia dapat, pasti tepukan atau bahkan cubitan. Kemudian perintah-perintah dan ganjaran-ganjaran terus diberikan sampai dia akil balik. Saat itu dia diberi perintah yang bersifat wajib dan sunah, dan bahkan dipilah-pilah lagi menjadi mubah, makruh dan sebagainya kalau ada lagi. Dalam kitab suci yang dirisalahkan para Rasul dan Nabi sudah jelas, jika kamu ingin selamat dunia dan akhirat bekerja pada Gusti Allah dengan ikhlas, yaitu laksanakan perintahNya - jauhi laranganNya."
"Apa perintah dan larangan Nya itu, kulo rasa sampean sudah paham, mungkin lebih paham daripada kulo mas." Tutup kakek itu dan dia tersenyum. Senyum yang persis sama dengan senyuman dia saat aku tanya, "Puasa kek....? Maaf kek sendirian...?"

Diam.
...........................................................
Tak ada lagi obrolan. Aku lihat kakek itu sudah tertidur. Dan aku tenggelam dalam penyesalanku. Ternyata pengetahuanku bagaikan setitik embun di samudra raya. Aku sombong dengan ibadahku. Astaghfirullah........Laa ilaha illa anta..............


Yuvusulikov, Jakarta 2008

7 komentar:

Anonim mengatakan...

Hmmm...bener2 cerita sarat makna nih...
Pencerahan di pagi hari....

Anonim mengatakan...

iya... saya bisa bayangin kondisi saat itu...
pernah juga sih... baru kemarin naek kereta dari surabaya bandung... hehe...
kena skak mat terus setiap scenenya... :) Ups...
met belajar, sama-sama belajar...
salam kenal...

Azwar mengatakan...

terharu aku membacanya, apa pendapat anda tentang cerita ini??

Sastra Bebas mengatakan...

banyak dari kita2 seperti si "mas" itu, sombong dengan ibadah kita. Yah...moga2 jadi pembelajaran kita semua, dan cerita ini bisa menjadi setitik sinar pencerahan....

Anonim mengatakan...

Manusia hanya hamba Allah yang lemah, Sedangkan Ilmu Allah tidak terbatas oleh Apapun Kunfayakun maka jadilah ia

Anonim mengatakan...

Manusia Hanya Hamba Allah yang lemah, sedangkan Ilmu Allah begitu luas tidak ada batasnya.

Sastra Bebas mengatakan...

..tapi kita kan di titipin setitik ilmu dr Gusti Allah, cuma kita aja yang gak sadar, makanya sering lalai...(termasuk aku..), padahal setitik dr Gusti Allah itu sdh luas seperti samudra bagi manusia

 

September 2008, Design template by Ayi Fahmi.